Welcome to My Scratch Wall, Stalker..
Save your heart, stop stalking my journal!
Don't ever say I haven't warn you before.

Januari 24, 2012

Pesan Di Cermin

Tubuhku diombang – ambing tekanan air, cahaya bulan yang jatuh di permukaan air terlihat semakin jauh, mataku perih, air laut terus menerus masuk lewat lubang mulut dan hidungku. Mungkin sebentar lagi nyawaku akan melepaskan diri dari tubuhku. Samar kulihat lengan itu datang, lengan yang selalu kurindukan, lengan yang selalu menyelamatkan aku dari maut sekaligus membuat aku selalu ingin bermain dengan maut. Lengan itu, lengan dengan tatto namaku, lengan Erland: suamiku…

Aku membuka mata dengan napas terengah – engah, kupegang bajuku yang separuh kuyup, masih ada sisa – sisa pasir dan lengket air laut. Senyumku mekar kembali pagi ini, Erland datang semalam, ia kembali menyelamatkanku. Cahaya pagi mengubah warna tirai menjadi lebih berkilau, aku harus mengangkat tubuh letihku dari tempat tidur, memperbaiki keadaanku dan menyiapkan sarapan untuk Grace. Grace tidak boleh tahu bahwa aku belum bisa merelakan kepergian Erland, Grace hanya boleh tahu bahwa ibunya baik – baik saja.

“Bu, hari ini aku akan ke rumah Wanda, aku harus mengerjakan tugas mata kuliah Filsafat,” Grace berkata seraya mengambil gelas susu yang telah kusiapkan di meja makan.

“Ya, Grace, tapi jangan pulang terlalu larut, akan berbahaya untuk gadis sepertimu. Kenapa dengan matamu, Grace? Terlihat seperti habis menangis.”

“Oh, mungkin aku kurang tidur. Beberapa malam ini, aku sibuk mengerjakan tugas kuliahku, sehingga harus tidur dini hari.”

“Kalau ada waktu luang, pergunakanlah untuk istirahat. Kamu pergi naik apa? Mau bawa mobilku? Aku tidak akan ke mana – mana, kecuali malam nanti.”

“Tidak usah, Bu, aku naik kendaraan umum saja.”

“Ini kan hari sabtu, Axel tidak menjemputmu?”

“Tidak, Axel hari ini ada jadwal manggung bersama bandnya, jadi kami tidak bertemu hari ini. Aku berangkat ya, Bu, takut terlalu siang sampai di rumah Wanda.”

“Ya, Dear, hati – hati.”

Grace pergi terburu – buru setelah mencium pipiku, cara jalannya mirip sekali dengan Erland. Bukan hanya cara jalannya saja, tapi di wajahnya yang cantik aku menemukan cara Erland tersenyum kepadaku saat mengatakan semua akan baik – baik saja.

Aku lupa bahwa pagi ini aku belum membuka tirai jendela kamarku dan melihat pesan di jendela. Ya, jendela yang tetap berembun meski cuaca terik, jendela tempat Erland biasa menulis pesan: kau harus baik – baik saja, kau harus tetap mencintai aku dengan mencintai hidupmu dan Grace’. Pesan yang biasa ditulis Erland setelah menyelamatkanku dari percobaan bunuh diri di pantai. Aku membuka tirai jendela kamarku, pesan itu ada, cuma Erland yang mampu mengembunkan jendela meski musim panas. Pesan itu seperti rahasia yang harus kuhapus sebelum Grace membaca dan mengetahui bahwa Ayahnya belum mati saat liburan dulu, bahwa Ayahnya tak akan pernah bisa mati, bahwa Ayahnya adalah seorang Vampire.

***

Matahari menenggelamkan separuh tubuhnya di laut, aku dan Erland saling bergenggaman tangan dengan separuh tubuh ditelan air laut. Kami berjalan ke depan, seolah – olah kami mampu mencapai tubuh matahari yang separuh tenggelam di kejauhan. Aku memalingkan wajah sejenak ke belakang, ke arah Grace, gadis kecilku yang cantik. Grace tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah kami, seakan ingin menyampaikan salam perpisahan sambil tersenyum.
Kupalingkan tatapan ke wajah Erland, wajahnya tertunduk, terasa dingin dan berkilau. Erland menatap wajahku dan berkata,

“Shannon, jaga Grace, aku tidak bisa hidup bersama kalian lagi. Orang – orang di sekitar kita akan mengetahui bahwa aku seorang vampire,ini akan membahayakan kalian, aku harus pergi demi kalian.”

“Apa maksudmu? Kita bisa berpindah – pindah tempat, dan orang – orang tak akan tahu rahasiamu. Demi Tuhan, jangan pergi, jangan tinggalkan aku.”

“Shannon, dengar! Aku ingin kalian hidup bahagia. Suatu hari Grace akan bertanya, mengapa ayahnya tak pernah menjadi tua!”

“Kita masih bisa memikirkan jawabannya, Erland! Demi Tuhan, jangan mengambil keputusan tanpa memikirkan hidupku nantinya.”

“Aku sudah memikirkannya, kau bisa bekerja dan menjual beberapa asetku untuk biaya hidup kau dan Grace. Aku akan pergi dengan cara seolah – olah aku mengalami kecelakaan di pantai ini. Aku tidak akan muncul kembali di hadapan kalian. Aku mencintai kalian.”

Erland mencium bibirku sebelum aku sempat bicara. Kemudian ia mendorong tubuhku dan berlari ke arah matahari tenggelam, berlari sampai ombak menghapus tubuhnya.

***

Hari sudah larut malam, seperti biasa, setiap akhir minggu aku akan pergi ke pantai, menenggelamkan diriku dan menemui Erland. Sudah menjadi kebiasaanku bahwa dengan cara seperti ini, aku bisa menemui Erland. Kunci rumah kutaruh di pot bunga, tempat di mana aku dan Grace biasa menaruh kunci. Grace meneleponku dan bilang bahwa ia pulang agak malam dari rumah Wanda. Aku masuk ke dalam mobil, menuju ke pantai yang dulu dijadikan Erland sebagai tempat meninggalkanku.

Selama di perjalanan aku tersenyum, aku siap menemui seseorang yang sangat kucintai, aku siap merasakan kehadirannya dengan nyata. Aku terus menerus memikirkan apa yang akan terjadi nanti, hingga tak terasa aku telah melihat pantai. Aku memarkirkan mobil, kemudian keluar dari mobil dengan berlari, mengampiri laut, menghampiri maut sekaligus kebahagiaanku. Aku berlari dengan cepat sehingga tak terasa permukaan air telah berada di atas kepalaku.

Sekali lagi, tubuhku diombang – ambing tekanan air, cahaya bulan yang jatuh di permukaan air terlihat semakin jauh, mataku perih, air laut terus menerus masuk lewat lubang mulut dan hidungku. Mungkin sebentar lagi nyawaku akan melepaskan diri dari tubuhku. Samar kulihat lengan itu datang, lengan yang selalu kurindukan, lengan yang selalu menyelamatkan aku dari maut sekaligus membuat aku selalu ingin bermain dengan maut. Lengan itu, lengan dengan tatto namaku, lengan Erland: suamiku…

Aku terbangun dengan napas terengah – engah, aku tersenyum, karena Erland sekali lagi menyelamatkanku semalam, karena Erland tidak pernah benar – benar pergi. Aku teringat Grace, aku bangkit dari tempat tidur dan segera keluar mencari Grace.

“Grace, Grace, di mana kamu, Dear?”

Aku terus memanggilnya, tapi tidak ada suara menyahut. Aku menuju kamarnya, kulihat pintu kamarnya setengah terbuka. Grace ceroboh sekali, tidak menutup rapat pintu, pikirku. Aku membuka pintu kamarnya dan tercekat, banyak darah di sana. Aku melihat tubuh Grace di dekat jendela, darah yang berceceran ini dari tubuh Grace! Aku berlari menghampiri Grace, aku menggoyang – goyangkan tubuhnya, aku terus – menerus memanggil namanya, aku berharap ia hanya bergurau, aku berharap bahwa cairan yang berceceran di lantai dan tubuhnya bukan benar – benar darah. Aku mendekatkan telinga di dadanya, tak ada detak jantung, Grace telah mati. Airmataku tumpah seketika, aku menampari wajahku berkali – kali, berharap ini hanya mimpi. Aku mencoba mengangkat tubuh Grace, memeluknya dengan posisi berdiri sehingga posisiku menghadap jendela. Ada tulisan di jendela, tapi bukan tulisan Erland, tulisan dengan noda darah. Sambil tetap memeluk tubuh Grace, aku membaca tulisan itu:

"Ibu, maafkan aku melakukan ini, aku tak tahu harus berbuat apalagi. Axel meninggalkanku, perasaanku kacau sekali. Aku mencari Ibu, tapi Ibu tak ada di rumah. Aku mencintaimu, Bu. Aku mencintaimu…."

Thanks for reading my 'cerpen' guys,
ingat ini realita. jangan pernah mengharapkan akhir yang bahagia, karena kebahagiaan yang sejati itu tak pernah berakhir :'>

Love,
ham

5 komentar:

  1. :'( mencoba mencari kebahagiaan untuk diri sendiri dan mengabaikan yg mencintai , miris semiris mirisnya :(((

    BalasHapus
  2. sebenernya yang miris bukan itu dear, tapi kemiripan ibu dan sang anak ini. yang memiliki cinta terlalu banyak sehingga lebih mencintai orang lain ketimbang dirinya sendiri.
    btw, thx for reading. i feel so appreciated *kissandhug

    BalasHapus
  3. ayo ayooo dukung eik jadi Drama Queen 2012!

    BalasHapus
  4. ketik REGDR (spasi) Hanielgamalama kirim ke Neraka.... hahhahahaa

    BalasHapus