Welcome to My Scratch Wall, Stalker..
Save your heart, stop stalking my journal!
Don't ever say I haven't warn you before.

Mei 03, 2012

Jatuh pada cinta yang baik

Awal 2012 lalu, saya berjanji kepada diri sendiri. Jika tahun ini memulai hubungan baru, saya harus terjatuh pada cinta yang baik. Namun saya terhenti di suatu malam setelah pertemuan kembali dengan seorang teman lama yang saya kenal. Pertanyaan mulai memenuhi kepala. Cinta yang baik? Bagaimana saya tahu jika kali ini adalah cinta yang baik?

“Mulailah dari awal yang baik,” tiba-tiba terdengar suara kecil membisik di telinga kiri saya. Masuk akal.

Belakangan ini, saya kerap menjalin hubungan dengan awal yang kurang baik dan berakhir dengan tidak baik pula. Awal yang baik berarti jatuhlah pada hati yang belum termiliki. Ya, seharusnya sih. Tapi lagi-lagi kalimat tersebut menimbulkan pertanyaan baru di kepala saya.  Apa benar jika kita memulai hubungan dengan tidak baik maka akan berakhir tidak baik? Apa benar semua hubungan yang dimulai dengan baik, maka akan berjalan dengan baik tanpa akhir? Lalu bagaimana dengan pendapat yang selama ini saya setujui bahwa “Happy ending is just an undone story?”

Apakah saya bisa memilih kepada siapa cinta saya harus terjatuh?

Entah, apa jawaban dari pertanyaan tersebut. Yang saya tahu, saya selalu jatuh cinta dalam keadaan sadar. Sadar dalam artian, saya tidak perlu bertanya kepada siapapun “am I falling in love?”, seperti yang kerap terjadi  pada tokoh-tokoh dalam film cinta belakangan ini.

Saya tidak memilih kepada siapa atau pada jenis cinta macam apa saya terjatuh. Tapi saya selalu sadar “Saya akan jatuh cinta” di pertemuan pertama dengan orang yang akan membuat saya jatuh cinta. Cerita setelah jatuh cinta, itu beda lagi. Itu skenario baru yang sungguh tidak ada yang tahu akan berjalan atau mungkin berakhir seperti apa.

Cinta yang baik. Bagi saya semua cinta baik. Cinta tidak akan melukai. Ketika saya mampu secara sadar melukai seseorang, maka apa yang selama itu saya sebut cinta, bukanlah cinta. Entah itu sekedar suka, penasaran, kagum, ego, tapi yang pasti melukai tidak layak disebut ‘cinta’.

Cinta tidak akan melukai. Cinta tidak akan memaksa. Cinta adalah senyum. Cinta adalah kebahagiaan. Bahagia melihat orang yang kita akui ‘cintai’ bahagia. Klise sih, dan akan banyak yang menentang. Tapi banyaknya kegagalan yang saya jalani dalam cerita-cerita sebelumnya, mendewasakan pemaknaan cinta yang selama ini dengan mudah saya eja.

Tahun lalu, saya bertemu sosok yang membuat saya belajar mencintai dengan baik: membebaskan, melepaskan, serta memaafkan. Membebaskan ke mana hati sosok tersebut berlabuh, melepaskan genggaman tangan yang tidak terlalu erat, serta memaafkan cerita Tuhan yang kurang sesuai dengan harapan-harapan yang selama ini saya bangun di imajinasi saya sendiri.

Ternyata, rasa sakit tidak begitu menyesakkan di tiap langkah yang saya ambil untuk menjauh, hangat. Ya, akhirnya, untuk pertama kalinya, perpisahan yang biasanya membuat saya kalang kabut dan norak tidak lagi saya rasakan pada sosok ini. Bukan karena perasaan saya padanya kurang kuat, namun cinta saya pada diri saya sendiri jauh lebih besar. Saya enggan mengizinkan hati saya terluka makin dalam dengan terus bertahan dan berjuang dengan seluruh rasa, hanya untuk hati yang separuh.

Saya dan teman-teman ngehek yang selalu gentayangan di hidup saya dengan sadar yakin bahwa waktu itu saya jatuh cinta. Entah jatuh pada cinta jenis baik atau buruk. Yang saya tahu, kala itu saya berhasil mencintai dengan baik. Mencintai diri saya sekaligus dia, sosok yang akhirnya membuat saya merasakan hangat dan senyum tiap kali mengenang cerita singkat kita.

Saya mau jatuh pada cinta yang baik. Namun jauh di lubuk hati, saya mau mencintai dengan baik terlebih dulu, agar jika saatnya cinta baik itu tiba, saya tidak akan memalukan dia yang (maunya) akan mencintai saya dengan baik.

Perpisahan waktu itu, bukan tutup buku untuk kehidupan percintaan saya.Saya hanya sekedar memberi ruang, untuk dia merasakan kehilangan jika memang saya pernah penting di hatinya. Memberi ruang bagi hati saya untuk menyembuhkan luka yang belum cukup dalam. Memberikan ruang pada cerita kami yang sebelumnya terlalu cepat dan padat akan senyum serta tangis yang menghantam bertubi tanpa ada persiapan.

Jika memang cinta, maka jatuhlah, terus, lalu bertahanlah. Itu saja yang tadinya saya tahu. Nikmati apabila masih nikmat. Lepas saat yang tersisa hanya cemas. Kemudian seorang teman pernah berkata pada saya, pejuang yang baik, tahu kapan harus maju, kapan harus mundur, dan kapan harus diam menyusun strategi.

Sedih? Menangis? Pastilah, tapi lagi-lagi saya teringat, saya terlalu mencintai diri saya sendiri hingga tidak akan lagi membiarkan siapapun melukai hati, pikiran dan tubuh saya termasuk oleh harapan serta mimpi saya sendiri.

Tentu, saya mau jatuh pada cinta yang baik. Dan inilah saya sekarang. Karena saya akhirnya jatuh pada cinta yang baik, pada diri saya sendiri. Dengan mencintai hati saya sendiri, akhirnya saya bisa mencintai orang lain (dengan baik). Tanpa drama, tanpa sedih terlalu lama, tanpa perlu ada yang terluka.

Dan kali ini, saya menemukannya; tepat sesuai prolog yang diizinkan ego saya. Dengan awal yang baik, kisah yang baik, dan (semoga) cinta yang juga baik.

Dia, seseorang yang bukan yang pertama, dan bukan pula yang terakhir. Karena saya lah yang akan selalu berada di tengah. Tengah jatuh cinta. :')

Love, ham