Welcome to My Scratch Wall, Stalker..
Save your heart, stop stalking my journal!
Don't ever say I haven't warn you before.

Januari 28, 2012

Kau Dalam Aku

Jari – jari cahaya mengusap kelopak mataku dengan lembut, seperti hendak merayu kelopak mataku untuk membuka diri dan menerima pagi yang datang. Aku melepaskan diri dari selimut yang membungkus separuh tubuhku, kemudian beranjak melerai tirai dan membuka jendela. Aku biarkan cahaya pagi ini menyentuh dadaku yang telanjang, sampai hangatnya merasuk jauh ke dalamnya. Aku bakar rokokku, lalu asap rokokku menerbangkan angan: seandainya, minggu pagi ini seperti minggu – minggu sebelum minggu – minggu setahun terakhir, dia pasti ada di sini, memasak dua piring nasi goreng dengan telur mata sapi. Dan seperti biasa, dia akan memisahkan kuning dan kuning telur mata sapi buatannya. Sebab aku dan dia sama tahu, aku hanya menyukai kuning telur saja, sedang dia hanya menyukai putihnya.


***
“Selamat minggu pagi, Elang! Sudah siap untuk nasi goreng dan telur mata sapi buatanku pagi ini?”


“Selamat pagi, Cantik!” Aku memandang wajahnya, wajah yang memiliki telaga kecil di pipinya – telaga di mana cintaku selalu ingin mengukur kedalamannya –
Aku menghampirinya, kemudian memeluknya dengan mesra, seolah – olah aku tengah memeluk segala yang aku inginkan dalam hidup.


“Hei, ayo kita ke meja makan, aku sudah lapar dan segera ingin menyantap masakanku sendiri,” ia berbisik lembut di telingaku.


“Dasar! Semoga hari ini, nasi goreng dan telur mata sapinya lebih asin dari minggu kemarin. Sebab Icha, katanya, kalau seorang perempuan masak makanan terlalu asin, tandanya dia ingin segera menikah. Siapa tahu yang ingin kau nikahi adalah aku.”


“Elang, pagi ini masakanku tak akan keasinan seperti minggu kemarin. Tapi, seperti minggu kemarin dan minggu – minggu sebelumnya, aku memang sangat ingin menikah, denganmu tentunya.”


Aku dan Icha pun sama – sama beranjak dan duduk di kursi meja makan. Di meja makan, telah tersedia dua piring nasi goreng dan sepiring telur mata sapi. Seperti biasa, ia memisahkan bagian putih dan kuningnya dengan sendok, lalu menaruh kuningnya di piringku, dan putihnya di piringnya.


“Elang, hari ini mainlah ke rumahku, lebih berusahalah meluluhkan hati Ayah dan Ibuku. Kita tidak bisa terus – menerus menjalani hubungan seperti ini.”


“Aku sangat ingin melakukannya, tapi tidak hari ini, Sayang. Hari ini aku sedang tidak siap menerima penolakan, aku tidak siap mendengar mereka membicarakan Eros, yang kata mereka adalah pria terbaik untukmu. Seorang dokter yang kata mereka bisa memberikanmu kebahagiaan nantinya.”


“Aku tidak mencintai Eros, aku mencintaimu, untuk itu aku memintamu untuk meluluhkan hati Ayah dan Ibu, dan aku akan menunggu sampai kau berhasil melakukannya.”


“Dear, aku pasti akan melakukannya untukmu dan untuk diriku sendiri, sebab aku pun tidak bisa membayangkan jika akhirnya aku harus hidup dengan orang lain.”


“Aku pun begitu, Elangt! Siang ini, Ibu menyuruhku datang ke rumah, sepertinya ia merindukanku.”


“Ya, ke sanalah, kau sudah sebulan lebih tidak mengunjungi kedua orang tuamu. Hari ini menginaplah di sana, jangan pulang ke rumahmu sendiri.”


“Ya, setelah makan, aku akan langsung ke sana.”


Selama di meja makan, aku terus – menerus memandangi wajahnya. Hari ini ia makan dengan lahap sekali. Aku suka melihatnya makan begitu lahap, aku suka melihatnya tersenyum, aku suka melihatnya bahagia, aku suka bahwa aku masih bisa melihatnya.


***


Sudah 27 hari berlalu, setelah terakhir aku melihatnya duduk di hadapanku di meja makan, aku tak dapat menghubunginya. Dua hari setelah hari itu, nomor handphonennya tidak aktif lagi. Akhirnya aku menyalakan nyaliku untuk datang ke rumah orang tuanya, untuk menemuinya. Aku menyetir mobil dengan perasaan yang kacau, aku membuka kaca mobil dan terus – menerus membakar batang – batang rokok, dan bising jalan seperti melagukan kecemasanku.
Aku telah sampai ke rumahnya dan melihat sebuah mobil mewah yang setahuku bukan milik keluarga Icha parkir di rumahnya. Sepertinya aku pernah melihat mobil ini, namun aku lupa kapan, di mana dan milik siapa. Aku menghiraukan pertanyaanku sendiri, kemudian berjalan ke depan pintu, dan lenganku segera menciptakan ketukan, sampai akhirnya ayah Icha membukakan pintu dan langsung berkata,


“Jauhi Icha! Icha telah menemukan kebahagiaannya, Icha tekah melupakanmu!”


“Om, aku ingin menemui Icha, aku hanya ingin menemuinya.”


“Tidak! Lebih baik kamu pergi sebelum saya bertindak kurang pantas!”


Aku mendorong tubuh ayah Icha dengan bahuku, aku tidak peduli, kerinduan yang menggerakan tubuhku melakukannya. Aku segera berlari ke dalam, ke ruang tempat Icha biasa duduk dan membaca buku. Ya, aku melihat Icha, tapi dengan perban di kepala duduk di samping Eros. Aku terkejut pada perban itu, aku terkejut ada Eros di sana. Aku menghampiri Icha, kali ini dengan langkah gontai, aku tak peduli bahwa Ayahnya akan segera menangkapku di sini. Aku berjalan sampai akhirnya mereka menyadari keberadaanku saat jarak kami hanya tinggal beberapa langkah saja, dan kulihat Icha memandangku dengan tatapan asing, tidak seperti tatapan yang kulihat dari seorang gadis yang sangat kucintai.


“Cha, kenapa denganmu? Aku tidak bisa menghubungimu selama ini.”
Eros beranjak dari sofa dan menatap tajam ke arahku.


“Kamu siapa?” Icha bertanya kepadaku, seketika pertanyaan itu menjelma anak panah yang menancap di dadaku.


“Dia Elang, Sayang, temanmu. Dia ke sini untuk menjengukmu, karena kuberitahu bahwa beberapa minggu yang lalu kau mengalami kecelakaan dan menderita amnesia,” Eros berkata.


“Elang, bolehkah kau menjengukku nanti saja. Hari ini dan mungkin beberapa hari ke depan, aku tak ingin dijenguk dulu. Aku ingin perlahan mengingat semuanya.”


Tiba – tiba dadaku kehilangan tenaga, aku segera berlari keluar, berlari seolah – olah aku mampu berada sangat jauh dari kenyataan; kenyataan bahwa Icha terkena Amnesia dan Eros mengenalkan diri sebagai kekasihnya; kenyataan bahwa aku tidak mampu berbuat apa – apa. Aku berlari, berlari sampai sadar bahwa kenyataan selalu mampu mencapai apa yang mampu kucapai dalam pelarian.


***


Aku beranjak dari jendela dan menuju ke dapur. Hari ini, seperti minggu – minggu setahun terakhir, aku akan memasak nasi goreng dan telur dadar. Ya, telur dadar, sudah setahun terakhir aku mencampur putih dan kuning telur untuk kusantap sebagai telur dadar. Sebab dengan begitu, sekalipun tak ada Icha di meja makan ini, aku tahu, Icha ada dalam diriku.




** End **

@coffeewar
Jan 2012
Love,
ham

Tidak ada komentar:

Posting Komentar