Welcome to My Scratch Wall, Stalker..
Save your heart, stop stalking my journal!
Don't ever say I haven't warn you before.

Januari 31, 2012

LoveLetter Story Part 4

#30HariMenulisSuratCinta


Semoga Harapan (Masih Ada)


Mars


Mars, segera setelah membaca suratmu, aku berlari menuju pantai itu, aku mengejar, berdoa di sepanjang jalan agar kamu masih berada di sana. Tapi, tidak.. tidak ada kamu di sana, hanya bulan merah jambu seperti yang kamu ceritakan di dalam surat yang tersisa. Mars.. aku menangis, ditemani angin sepoi yang aku yakin saat itu berbahagia bisa menyentuh wajahmu yang cantik lagi.

Aku belum sempat memelukmu disaat terakhir kita berjumpa tujuh bulan lalu, aku menangis Mars.. menangisi perbuatanku yang kini mengacaukan cerita kita. Entah apa rencana Tuhan kepada kita, katamu aku harus bersabar, bertanggung jawab dan katamu kamu akan tetap setia menunggu, katamu cerita kita tidak akan pernah berakhir selama kita masih bisa berharap. Jika bukan karena kamu, entah apa mungkin aku masih bisa berdiri di sini, sendiri. Aku percaya semua kata-katamu, Mars.. aku akan menuruti semua harapan-harapan yang selama ini kamu bekali ditiap langkah yang sekarang sendiri aku tapaki.

Sayangku.. kehamilan istriku sudah memasuki bulan kedelapan. Apakah janji kita masih sama? Apa kamu masih mau menerimaku lagi nanti setelah semuanya selesai di sini? Pertanyaan macam apa ini? Aku benar-benar lelaki brengsek. Satu hari sebelum pernikahanku, aku sudah berniat untuk meninggalkan istriku sendiri setelah dia melahirkan anak kami, dan masih berharap kamu mau menerimaku, setelah apa yang aku lakukan selama ini. Aku benar-benar brengsek.

Mars, bagaimana kabar ayah dan ibumu? Apa mereka masih membenciku? Pasti, ya.. pasti mereka muak mengingatku, aku membuat mereka sakit hati dengan menghamili wanita lain di bulan-bulan menjelang pernikahan kita. Aku bodoh. Benar-benar bodoh.

Marsku, aku sangat ingin bertemu denganmu. Membelai rambutmu, mencium keningmu, menggenggam jemarimu, memelukmu, mencintaimu dengan baik, tidak lagi menjadi bajingan dan membuatmu bersedih. Aku akan mencintaimu setiap hari seolah matiku besok, seolah tidak akan pernah lagi aku bisa memelukmu dikemudian hari. Mencintaimu dengan penuh dan tanpa perlu lagi ada air mata serta penantian disela-sela cerita kita. Menghargai tiap detik yang Tuhan beri saat kita masih bisa bersama. Semoga, Senja.. semoga saat itu akan segera tiba. Aku ingin mencintaimu dengan baik, mencintaimu dengan jiwaku.


“If I had no more time, no more time left to be here, would you cherish what we had? Was it everything that you were looking for? If I couldn’t feel your touch, and no longer were you with me, I’d be wishing you were here to be everything that I’d be looking for.. I don’t wanna forget the present is a gift, and I don’t wanna take for granted the time you may have here with me, ‘Cause Lord only knows another day is not really guaranteed…

So every time you hold me, hold me like this is the last time. Every time you kiss me, kiss me like you’ll never see me again. Every time you touch me, touch me like this is the last time. Promise that you’ll love me, love me like you’ll never see me again..”


Mars, kita harus terus saling percaya.

Venus




#NowPlaying Alicia Keys -Like You’ll Never See Me Again-


(Part 4....bersambung....)

Januari 30, 2012

Bocah Hujan

Langit siang ini gelap, seperti biasanya aku melepaskan pakaianku dan berlari keluar rumah dengan begitu riang, apalagi hari ini adalah tanggal 25 Januari hari ulang tahun Ibuku. Aku berlari dengan cepat seolah tak ingin melewatkan tetes pertama hujan yang jatuh dari langit. Ayahku seperti biasa, hanya mampu melihat aku bermain hujan lewat jendela rumah tanpa banyak melarang, hanya berkata padaku untuk jangan terlalu lama bermain hujan. Ayah dan orang-orang di sekitar rumahku sudah hapal tentang kebiasaanku yang suka bermain hujan. Oleh sebab itu banyak yang menyebutku sebagai Bocah Hujan, julukan yang sudah di alamatkan kepadaku sejak 5 tahun terakhir sampai sekarang, saat usiaku 12 tahun yang seharusnya tak dimaklumi lagi untuk bermain hujan, kecuali oleh orang-orang yang sudah tahu alasan aku begitu mencintai hujan.

Hari ini ulang tahun Ibu, maka aku sudah mempersiapkan kado untuknya. Sudah sebulan aku mempersiapkan kado untuknya dengan bantuan Mbak Danisa tetanggaku. Mbak Danisa sangat pintar menggambar dan pelajaran matematika, maka sudah hampir sebulan ini aku belajar dengannya. Aku bilang pada Mbak Danisa bahwa aku ingin belajar menggambar dan ingin menggambar Ibu dan aku sedang berpegangan tangan di depan sebuah istana yang bagus sekali, di langitnya akan ada hujan dan pelangi yang warnanya merah, kuning, dan ungu. Sebab, Ibuku tak suka warna hijau yang mirip warna katak. Ibuku sangat takut katak, maka ia tak suka warna hijau, apalagi warna hijau muda. Aku ingin belajar matematika dengan Mbak Danisa karena ingin mendapatkan nilai bagus untuk ulangan matematikaku. Aku ingin membuktikan pada Ibu bahwa anaknya suatu saat bisa jadi Presiden, sebab kata Ibuku, Presiden itu harus pintar pelajaran matematika.


***


Aku sedang bermain mobil-mobilan, sampai akhirnya aku dengar suara mobil datang. Seketika aku berlari menghampirinya. Kulihat Ayah dengan senyum menggendong Ibu dan mendudukkannya di atas kursi rodanya. Kemudian Ayah masuk ke dalam rumah untuk membereskan kamar sebelum Ibu masuk dan istirahat. Sudah cukup lama Ibu duduk di atas kursi rodanya, maka saat itu aku memberanikan diri bertanya.
“Ibu lagi sakit?”
“Enggak, Sayang. Kenapa kamu tanya seperti itu?”
“Kata Pak Guru orang yang duduk di kursi roda itu berarti sedang sakit.”
“Sssttt, Ibu Cuma ingin agar dimanjakan oleh Ayahmu. Lihat sekarang , Ayahmu jadi rajin menggendong dan menemani Ibu kemanapun bukan?”
“iiiihhh, Ibu curang. Kalau begitu aku juga ingin berpura-pura seperti Ibu.”
“Kamu ga perlu pura-pura sayang, Nanti Ibu yang gendong kamu deh, tapi kamu harus janji jangan kasih tahu Ayahmu rahasia kita ini.”
“Iya, aku janji.”
Ibu menyuruhku duduk di pangkuannya, kemudian Ayah keluar dari dalam rumah dan tersenyum kepada kami berdua, tapi entah kenapa kulihat matanya sedikit basah dan aku tak tahu kenapa bisa seperti itu.

HARI ini tanggal 25 Januari, dan kata Ayah adalah hari adalah ulang tahun Ibu. Ayah bilang padaku kalau nanti kita akan memberikan kejutan pada Ibu. Aku tak tahu kenapa sudah seminggu lebih Ibu tak pulang kerumah, bahkan 3 hari yang lalu ia hanya mengucapkan selamat ulang tahun ke 7 kepadaku lewat telepon, katanya ia sedang di rumah sakit. Aku tersenyum, pasti Ibu sedang pura-pura lagi supaya semakin dimanjakan oleh Ayah. Kudengar suara mobil Ayah datang, aku sudah siap bertemu Ibu dengan baju bergambar robot Optimus Prime favoritku yang dibelikan Ibu dulu. Katanya ,aku mirip seperti Optimus Prime yang kuat dan tidak cengeng. Kemudian Ayah datang menghampiriku, membungkuk dan memberikan sebuah kotak hadiah kepadaku.
“Apa ini? Untukku?”
“Bukan, Sayang. Hadiah ini untuk Ibumu, nanti kamu yang harus memberikannya.”
“Kenapa aku, Yah?”
“Sebab nanti Ibumu pasti lebih senang jika menerimanya darimu.”
“Boleh tahu isinya?” Ayah menggeleng, kemudian memelukku sejenak.
Akhirnya aku dan Ayah tiba di rumah sakit, di sana aku melihat banyak sekali orang yang tak kukenal. Tapi kenapa wajahnya murung? Pasti karena rencana pura-puranya gagal, tak seperti Ibu yang berhasil dimanjakan oleh Ayah. Setelah melewati banyak wajah yang murung itu, akhirnya aku sampai ke kamar tempat Ibu menginap. Kulihat Ibu tersenyum, meski wajahnya tampak terlalu putih saat itu dan aku tak suka melihat wajah Ibu yang memakai bedak ketebalan.
“Hai, . Optimus Prime kecilku, Bawa hadiah untuk Ibu?”
“ Bawa dong, tapi yang membeli Ayah. Aku gagal mengumpulkan uang jajanku, soalnya sudah seminggu aku selalu ingin makan es krim, Bu.”
Kemudian Ibu menyuruhku untuk memeluknya, dan tiba-tiba aku sempat melihat matanya basah, sama seperti yang sering kulihat di mata Ayah seminggu ini.
“Kenapa mata Ibu basah? Menangis?”
“Enggak, Sayang. Ini namanya hujan kecil, hujan yang turun karena Ibu sayang padamu, dan hujan kecil ini bisa turun saat ibu kangen padamu.”
“Horeee, berarti Ibu sayang sekali padaku. Tapi, kenapa wajah Ibu putih sekali hari ini?”
“Ibu mau pergi sayang, makanya Ibu memakai bedak yang tebal supaya kelihatan putih dan cantik.”
“Mau kemana? Aku ikut ya Bu…”
“Ibu mau pergi jauh ke Negeri hujan, kamu ga boleh ikut sayang.”
“Negeri hujan? Di mana? Lebih jauh dari rumah Nenek?”
“Lebih jauh, Negeri hujan ada di langit. Di sana Ibu akan tinggal di sebuah isana yang bagus sekali, nanti akan ada pelangi di depan istana, dan Ibu akan sering melihatmu dari sana. Makanya kamu ga boleh nakal, dan harus pintar di sekolah.”
“Berapa lama Ibu di sana?”
“Sampai kau nanti jadi Presiden sayang.”
“ Bagaimana caranya supaya jadi Presiden, Bu?”
“ Kamu harus pintar pelajaran matematika dan harus tetap nurut dengan Ayahmu.”
“Oke, aku janji. Tapi bagaimana kalau aku lagi kangen Ibu?
“Heemmm, Ibu akan menurunkan hujan dari istana hujan, dan kamu bisa tahu kalau Ibu sedang memperhatikan dan kangen kamu.”
“Ok, tapi ibu harus janji untuk sering turunin hujan dari istana hujan ya.”
Kemudian aku dan Ibu berpelukan bergitu lama, sampai akhirnya Om Ridwan menjemput aku dan membawaku ke rumah nenek selama seminggu. Aku tak tahu untuk apa aku diajak ke rumah Nenek, katanya nenek kangen aku, tapi entah kenapa wajah Nenek selalu murung setiap melihat wajahku.

Setelah seminggu di rumah Nenek aku dijemput Ayah pulang ke rumah, sejak di rumah sakit itu aku tak pernah lagi menemukan Ibu dan sering mendapati Ayah tampak murung sendirian untuk kemudian memelukku.

***
Aku belum terlambat, sehingga masih bisa merasakan tetes hujan pertama sambil menggenggam kertas yang sudah kugambar dan kertas ulangan matematikaku yang mendapat nilai 90. Hari ini aku ingin memberitahu kepada Ibu bahwa aku sudah pandai menggambar dan nanti dengan nilai matematika yang bagus aku akan bisa jadi Presiden. Sebenarnya aku tak suka jadi Presiden, dan lebih suka jadi dokter, aku hanya ingin jadi presiden supaya bisa bertemu Ibu.
“Ibu, selamat ulang tahun. Hari ini aku memberikanmu hadiah. Aku menggambar Ibu dan aku sedang bergenggaman tangan di depan Istana hujan. Di depan istana kugambar pelangi, warnanya merah, kuning, dan ungu. Ibu, lihat deh, aku dapat nilai ujian matematika 90, berarti aku nanti akan jadi Presiden dan segera menemui Ibu. Bu, aku kangen Ibu…”

Lalu seperti biasa, Ayah akan menjemputku dengan payung sebelum aku puas mengobrol dengan Ibu, dan sekali lagi aku harus menurut kepada Ayah. Karena Cuma dengan menurut pada Ayah aku bisa segera menjadi Presiden, dan menemui Ibu. End.

***

Sebuah cerpen untuk adikku Malvino. Terima kasih udah ngajarin mbak Hani jadi anak yang kuat sepertimu, dek. Semoga mbak Hani selalu bisa jagain dek avin. Buat tante niken di surga, lihat tan, avin jadi anak kebanggan kita semua.  Miss you so bad..

Love,
ham

Aku Ingin

Oleh :
Sapardi Djoko Darmono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


**

Lihat puisi diatas, Venus, puisi favoritku yang mungkin juga favoritmu. Dan ditulis oleh salah satu penyair favoritku yang mungkin favoritmu juga. "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana" . Ya kurang lebih seperti itulah yang diteriakkan seisi hatiku.yang tak bermulut itu.

Sesederhana aku tak peduli apa yang mereka bilang bahwa aku mencintai orang yang salah, HA HA! Mereka yang harus mengerti satu hal: Cinta Tak Pernah Salah. Kamu, satu-satunya hal yang diterima oleh cara berpikirku. Ketika mereka semua bilang "Surga mengutukmu, hani!", aku hanya bisa bilang "Kalau ganjaran berpikir adalah masuk neraka, percakapan di surga pastilah sangat membosankan."

Tentu saja aku benar mengatakan itu kepada semua orang yang mengusik caraku mencintaimu, sayang. Mereka harus belajar bagaimana caranya menghormati pemikiran-pemikiran orang lain. Kamu bilang aku nyinyir? Kamu jualah yang bilang menyukai caraku memaki dunia namun tetap tersenyum saat kausapa. Bahkan aku tak peduli bahwa terkadang kamulah satu-satunya orang yang mampu mengaba(d)ikan aku dengan cara yang paling santun.

Aku mencintaimu dan memerlukanmu secukupnya, selebihnya, biarlah kuhadapi dunia ini sendiri saja.

Seperti itulah, Venus, Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana, lebih sederhana dari apa yang diungkapkan sapardi di puisinya

January 30
Love,
ham

Januari 28, 2012

Surat Untuk Ibu Calon Mertua

#30HariMenulisSuratCinta


Teruntuk, Calon Ibu Mertuaku


Wanita ketiga tercantik di bumi, setelah Ibu dan Mama

Bu, apa kabarmu? Saya harap Ibu baik-baik, dimanapun berada. Entah mengapa tiba-tiba terpikirkan oleh saya untuk menulis surat ini untukmu saat makan siang tadi. Panggilan hati, mungkin. :)

Bu, entah kapan Tuhan ijinkan kita bertemu. Bertemu denganmu pastilah lebih susah daripada bertemu jodohku. Tentu saja, wong bertemu jodoh saja sudah susah, lah ini mau bertemu ibunya. Tambah susah lagi. Hehehe..

Tapi Bu, ketahuilah bahwa sudah sejak lama calon menantumu ini merindu. Begitu ingin bertemu denganmu. Ingin mencium punggung tangan kananmu. Ingin ikut berbakti padamu.

Bu, jika suatu saat kita akhirnya saling bertatapmuka, berjanjilah pada saya tentang beberapa hal. Berjanjilah untuk mengajarkan saya mengenalmu, mengenal kebiasaanmu. Berjanjilah untuk mengajarkan saya berbagi dengan hidup dua keluarga. Berjanjilah untuk mengajarkan saya mencintaimu, juga suamimu dan anak-anakmu, seperti saya mencintai milik saya sendiri. Berjanjilah untuk mengajarkan saya mengurus rumah, memasak makanan kegemaran keluarga kecilmu. Berjanjilah untuk mengajarkan saya membesarkan cucu-cucumu kelak. Berjanjilah mengajarkan saya pahit dan manisnya para lelaki, yang didalamnya ada salah satu cintamu yang terdalam, suamiku.

Bu, Tuhan sudah lebih dari tau kalau saya berdoa setiap malam untukmu. Untuk wanita hebat yang telah melahirkan lelaki luar biasa. Lelaki yang nantinya Tuhan kirimkan untuk saya dan kelak menjadi ayah dari anak-anak saya.

Sampai jumpa di masa depan, Bu.. Peluk dan cium tangan hormat untukmu selalu.. :))




















Dari saya,
calon menantu yang kelak banyak merepotkan

ham.

Kau Dalam Aku

Jari – jari cahaya mengusap kelopak mataku dengan lembut, seperti hendak merayu kelopak mataku untuk membuka diri dan menerima pagi yang datang. Aku melepaskan diri dari selimut yang membungkus separuh tubuhku, kemudian beranjak melerai tirai dan membuka jendela. Aku biarkan cahaya pagi ini menyentuh dadaku yang telanjang, sampai hangatnya merasuk jauh ke dalamnya. Aku bakar rokokku, lalu asap rokokku menerbangkan angan: seandainya, minggu pagi ini seperti minggu – minggu sebelum minggu – minggu setahun terakhir, dia pasti ada di sini, memasak dua piring nasi goreng dengan telur mata sapi. Dan seperti biasa, dia akan memisahkan kuning dan kuning telur mata sapi buatannya. Sebab aku dan dia sama tahu, aku hanya menyukai kuning telur saja, sedang dia hanya menyukai putihnya.


***
“Selamat minggu pagi, Elang! Sudah siap untuk nasi goreng dan telur mata sapi buatanku pagi ini?”


“Selamat pagi, Cantik!” Aku memandang wajahnya, wajah yang memiliki telaga kecil di pipinya – telaga di mana cintaku selalu ingin mengukur kedalamannya –
Aku menghampirinya, kemudian memeluknya dengan mesra, seolah – olah aku tengah memeluk segala yang aku inginkan dalam hidup.


“Hei, ayo kita ke meja makan, aku sudah lapar dan segera ingin menyantap masakanku sendiri,” ia berbisik lembut di telingaku.


“Dasar! Semoga hari ini, nasi goreng dan telur mata sapinya lebih asin dari minggu kemarin. Sebab Icha, katanya, kalau seorang perempuan masak makanan terlalu asin, tandanya dia ingin segera menikah. Siapa tahu yang ingin kau nikahi adalah aku.”


“Elang, pagi ini masakanku tak akan keasinan seperti minggu kemarin. Tapi, seperti minggu kemarin dan minggu – minggu sebelumnya, aku memang sangat ingin menikah, denganmu tentunya.”


Aku dan Icha pun sama – sama beranjak dan duduk di kursi meja makan. Di meja makan, telah tersedia dua piring nasi goreng dan sepiring telur mata sapi. Seperti biasa, ia memisahkan bagian putih dan kuningnya dengan sendok, lalu menaruh kuningnya di piringku, dan putihnya di piringnya.


“Elang, hari ini mainlah ke rumahku, lebih berusahalah meluluhkan hati Ayah dan Ibuku. Kita tidak bisa terus – menerus menjalani hubungan seperti ini.”


“Aku sangat ingin melakukannya, tapi tidak hari ini, Sayang. Hari ini aku sedang tidak siap menerima penolakan, aku tidak siap mendengar mereka membicarakan Eros, yang kata mereka adalah pria terbaik untukmu. Seorang dokter yang kata mereka bisa memberikanmu kebahagiaan nantinya.”


“Aku tidak mencintai Eros, aku mencintaimu, untuk itu aku memintamu untuk meluluhkan hati Ayah dan Ibu, dan aku akan menunggu sampai kau berhasil melakukannya.”


“Dear, aku pasti akan melakukannya untukmu dan untuk diriku sendiri, sebab aku pun tidak bisa membayangkan jika akhirnya aku harus hidup dengan orang lain.”


“Aku pun begitu, Elangt! Siang ini, Ibu menyuruhku datang ke rumah, sepertinya ia merindukanku.”


“Ya, ke sanalah, kau sudah sebulan lebih tidak mengunjungi kedua orang tuamu. Hari ini menginaplah di sana, jangan pulang ke rumahmu sendiri.”


“Ya, setelah makan, aku akan langsung ke sana.”


Selama di meja makan, aku terus – menerus memandangi wajahnya. Hari ini ia makan dengan lahap sekali. Aku suka melihatnya makan begitu lahap, aku suka melihatnya tersenyum, aku suka melihatnya bahagia, aku suka bahwa aku masih bisa melihatnya.


***


Sudah 27 hari berlalu, setelah terakhir aku melihatnya duduk di hadapanku di meja makan, aku tak dapat menghubunginya. Dua hari setelah hari itu, nomor handphonennya tidak aktif lagi. Akhirnya aku menyalakan nyaliku untuk datang ke rumah orang tuanya, untuk menemuinya. Aku menyetir mobil dengan perasaan yang kacau, aku membuka kaca mobil dan terus – menerus membakar batang – batang rokok, dan bising jalan seperti melagukan kecemasanku.
Aku telah sampai ke rumahnya dan melihat sebuah mobil mewah yang setahuku bukan milik keluarga Icha parkir di rumahnya. Sepertinya aku pernah melihat mobil ini, namun aku lupa kapan, di mana dan milik siapa. Aku menghiraukan pertanyaanku sendiri, kemudian berjalan ke depan pintu, dan lenganku segera menciptakan ketukan, sampai akhirnya ayah Icha membukakan pintu dan langsung berkata,


“Jauhi Icha! Icha telah menemukan kebahagiaannya, Icha tekah melupakanmu!”


“Om, aku ingin menemui Icha, aku hanya ingin menemuinya.”


“Tidak! Lebih baik kamu pergi sebelum saya bertindak kurang pantas!”


Aku mendorong tubuh ayah Icha dengan bahuku, aku tidak peduli, kerinduan yang menggerakan tubuhku melakukannya. Aku segera berlari ke dalam, ke ruang tempat Icha biasa duduk dan membaca buku. Ya, aku melihat Icha, tapi dengan perban di kepala duduk di samping Eros. Aku terkejut pada perban itu, aku terkejut ada Eros di sana. Aku menghampiri Icha, kali ini dengan langkah gontai, aku tak peduli bahwa Ayahnya akan segera menangkapku di sini. Aku berjalan sampai akhirnya mereka menyadari keberadaanku saat jarak kami hanya tinggal beberapa langkah saja, dan kulihat Icha memandangku dengan tatapan asing, tidak seperti tatapan yang kulihat dari seorang gadis yang sangat kucintai.


“Cha, kenapa denganmu? Aku tidak bisa menghubungimu selama ini.”
Eros beranjak dari sofa dan menatap tajam ke arahku.


“Kamu siapa?” Icha bertanya kepadaku, seketika pertanyaan itu menjelma anak panah yang menancap di dadaku.


“Dia Elang, Sayang, temanmu. Dia ke sini untuk menjengukmu, karena kuberitahu bahwa beberapa minggu yang lalu kau mengalami kecelakaan dan menderita amnesia,” Eros berkata.


“Elang, bolehkah kau menjengukku nanti saja. Hari ini dan mungkin beberapa hari ke depan, aku tak ingin dijenguk dulu. Aku ingin perlahan mengingat semuanya.”


Tiba – tiba dadaku kehilangan tenaga, aku segera berlari keluar, berlari seolah – olah aku mampu berada sangat jauh dari kenyataan; kenyataan bahwa Icha terkena Amnesia dan Eros mengenalkan diri sebagai kekasihnya; kenyataan bahwa aku tidak mampu berbuat apa – apa. Aku berlari, berlari sampai sadar bahwa kenyataan selalu mampu mencapai apa yang mampu kucapai dalam pelarian.


***


Aku beranjak dari jendela dan menuju ke dapur. Hari ini, seperti minggu – minggu setahun terakhir, aku akan memasak nasi goreng dan telur dadar. Ya, telur dadar, sudah setahun terakhir aku mencampur putih dan kuning telur untuk kusantap sebagai telur dadar. Sebab dengan begitu, sekalipun tak ada Icha di meja makan ini, aku tahu, Icha ada dalam diriku.




** End **

@coffeewar
Jan 2012
Love,
ham

Januari 27, 2012

Untuk Inspirasi Yang Lari

#30HariMenulisSuratCinta


Untuk inspirasi yang lari„






Kemana kamu pergi? Aku mencarimu dipelosok hati„ bahkan untuk menulis surat ini aku harus berhenti dan menghapus berkali-kali. Mungkin karena beberapa hari ini aku sibuk dengan nalar dan logika, kamu merasa aku abaikan ya? Maaf ya, aku bukan mengabaikan tapi ini demi cita-cita. Kamu paham kan? 

Memang benar pepatah yang mengatakan jika kita menginginkan sesuatu maka disaat yang sama kita harus mengorbankan sesuatu. Tapi aku sudah mengatur kok, di setiap bab yang kuselesaikan pasti ada waktu untuk menyegarkan pikiran. Maaf karena ini sedang liburan jadi aku sambil mengejar setoran dan seperti orang kesetanan.

Kapan kamu mau kembali? Jangan marah lagi, aku tidak mau menjadi robot yang bergerak tanpa rasa. Aku janji, tidak akan mengabaikanmu lagi, ini janji seorang hani loh jadi tidak mungkin aku mengingkari.

Jangan marah lagi ya, inspirasi.


Love,
ham

LoveLetter Story Part 3

Venus
#30HariMenulisSuratCinta



Bulan Merah Jambu


Hey Venusku,

Saat aku tuliskan surat ini, aku ada di kotamu. Hanya dua hari, tugas dari kantor. Ingin sekali aku mengabarimu, namun.. seperti janji kita dulu sehari sebelum pernikahanmu, kita tidak akan lagi berkomunikasi melalui telepon, hanya surat satu-satunya jalur komunikasi yang masih bisa kita lakukan demi menjaga perasaan perempuan yang sekarang sedang mengandung anakmu.

Venus, aku menapaki lagi jalan yang dulu sering kita lalui,di bawah bulan yang malam ini berwarna merah jambu, aku memejamkan mata tiap kali angin menyentuh kulitku, pelan kubisikkan di dalam hati “aku mencintaimu, Venus”.

Sekarang aku di pinggir pantai tempat kita biasa menikmati tenggelamnya matahari. Ingat? Dulu kita pernah meniup-niup senja, agar kebersamaan kita tidak berakhir karena waktu. Menari-nari diantara debur ombak yang membuat kaos putih yang sedang kita kenakan basah tak karuan. Lalu setelah itu kita berdua sama-sama menggigil karena angin di tepi pantai sedang hebat-hebatnya. Kita berdua sama-sama tidak membawa baju ganti ataupun jaket saat itu, kamu menghangatkanku dengan pelukan.

Malam ini angin di tepi pantai masih hebat, tapi kali ini aku pakai jaket, Venus. Kamu tidak perlu khawatir. Aku sangat berharap kita bisa bertemu dengan tidak direncanakan, aku sangat ingin melihat wajahmu, matamu yang cokelat, potongan rambutmu yang baru, lenganmu yang kekar, genggaman tanganmu yang erat. Besok aku sudah harus kembali ke kotaku, masih tersisa beberapa jam untuk terus berdoa agar semesta mempertemukan kita. Semoga saja.

Ah, aku ingat jelas bagaimana raut wajah murungmu di sepanjang perjalanan mengantarku ke bandara. Kamu terus menggenggam tangan kananku dengan tangan kirimu selagi mengemudikan mobil yang mengantarkan kita ke sarang burung besi yang akan memulangkanku.

Pulang? Tidak.. justru malam itu aku merasa sedang dipaksa pergi dari rumah, karena kamulah rumahku sebenar-benarnya.

Malam ini aku pulang, namun masih di luar rumah, aku tidak memegang kunci untuk masuk dan berteduh. Aku menunggumu membukakan pintu dan mengajakku masuk. Sungguh, aku mau pulang.. pulang ke dalam pelukanmu


“Bulan merah jambu luruh di kotamu, kuayun sendiri langkah-langkah sepi. Menikmati angin menabur daun-daun, mencari gambaranmu di waktu lalu… Begitu lelah sudah kuharus menepi, hidup telah ditambatkan berlabuh dipantaimu. Mengingatmu, mengenangmu, menggapai paras wajahmu. Sendiri..”

Karena sungguh, aku tak bisa pindah ke lain hati.

Kekasihmu,
Mars.

#NowPlaying Kla Project - Tak Bisa Kelain Hati


(Part 3.......bersambung.....)
*kali ini cuma sesek napas*


Love,
ham

Who Loves You?


Yea..this morning, one of my friends asking me that silly deep question, am I loving two person in the same time with my only one heart? Oh my…

The answer is (of course) NO, I am not in that silly situation. I don’t have to tell anyone who’s the one that I really love is. For me, the point it wasn’t on that question, I prefer to ask ” Who loves you?”.

Yes, who’s the one that really love me for sure? I’m tired of guessing and waiting. For now, I only enjoying my flow, my own stupid silly show. Like you guys have said, yes..I am a drama queen.

I’m a multitasker, I can kiss “you” and miss him at the same time. Yes, I am a jerk. BUT loving two person in the same time is so NOT me. There’s a major difference between Love and Lust. When I kiss you, it could be (just) lust, when I miss u, it must be love. Got the point?

Well, I’m the one who put my own self into these drama. So, I wont blame the audiences that wondering the final episode of my silly drama.

Everybody loves drama right? and I love secret, let’s put the drama and secret together, let GOD be the (best) director. I am actress without script. Let’s enjoy the show. If you won’t, just screw us..


Love,
ham

Januari 26, 2012

Es Krim Magnum Chocolate Truffle

Hujan sore itu, pelukanmu seperti baju hangat yang sempit melekat digigil tubuhku, sehingga aku senantiasa berharap hujan tak pernah sampai pada penghabisan atau semakin menderas agar pelukanmu terasa semakin panas. Sesekali kucuri wajahmu yang basah lewat kaca spion hanya untuk memastikan kau masih wanita yang sama, wanita yang cintanya adalah detik yang menghidupkan detakku, dan aku senantiasa menjadi detak yang hidup untuk detiknya. Kau mulai bercerita tentang keinginanmu untuk membeli es krim Magnum Chocolate Truffle, es krim yang dilapisi Belgian Chocolate yang begitu dibicarakan banyak orang secara berlebihan sebagai satu strategi pemasaran saja.

Maka aku mengarahkan laju sepeda motor ke arah Mini Market di simpang jalan menuju rumahmu, Mini Market yang berkali-kali kita lewati saat aku mengantarkanmu pada sejenak perpisahan hanya untuk kembali kurindukan. Ya, Mini Market itu berada pada jalan menuju rumahmu, jalan yang akan menjadi sungai kenangan yang akan sesekali meluap saat rindu mengecupkan hujan.

Aku segera masuk ke dalam dan membeli sebuah es krim saja, sebab hanya itu yang mampu terbeli dari isi dompetku saat itu. Aku membeli kebahagiaanku sendiri lewat kesenanganmu. Sementara itu kau menunggu di depan, dan aku segera memberikan es krim tersebut seraya berkata:
“Laki-laki hanya makan es krim ketika sedang bersedih, dan aku sedang teramat bahagia sekarang bersamamu. Jadi, aku tak perlu membeli dua buah es krim, bukan?”
“Lalu, berapa banyak es krim yang akan kau habiskan jika kehilangan aku?” katamu.
“Aku takkan pernah kehilanganmu. Sebab, aku tak ingin menghabiskan uang dan hidupku hanya untuk membeli dan memakan es krim setiap saat.”

Kemudian kau melekatkan lagi baju hangat itu, kali ini lebih sempit, ketat, dan lebih hangat dari sebelumnya.
“Makanlah, sebelum es krim itu mencair,” kataku.
Lalu, kau segera membuka kemasannya dan sejenak memandang batang cokelat tersebut.
“kau tahu mengapa aku sangat suka es krim ini?”
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Sebab ia dingin dan manis, seperti hatimu.”
Aku tersenyum mendengarnya, kemudian berkata.
“Makanlah perlahan, sebab es krim yang dingin itu hanya ingin mencair lewat bibirmu.”
Kemudian, kau dan aku tertawa.



Kau menggigit es krim itu perlahan, begitu menikmatinya seperti aku juga yang menikmati suatu kebahagiaan pada setiap gigitan yang membahagiakanmu.
“Cobalah es krim ini,” katamu.
“Aku? aku sedang begitu bahagia hari ini.”
“kau harus belajar memakan es krim meski tidak dalam kesedihan. Sebab, kau tidak akan pernah berada dalam kesedihan ketika aku selalu bersamamu, bukan? dan aku takkan pernah sekalipun meninggalkanmu.”
“Baiklah, aku menyerah.”




Lalu,aku menggigit es krim tersebut, merasakan lapisan cokelat yang disebut memiliki rasa mewah, rasa yang tidak akan pernah sebanding dengan mewahnya rasa senyum yang paling senyum dari bibirmu sore itu, sore di mana aku terakhir kali melihatmu. Sore itu, kau pergi lewat sebuah kecelakaan yang paling kusesalkan, sebab Tuhan seperti hendak menyiksaku dengan kesendirian…

Sekarang, setiap hari aku harus menyisakan selembar uang Rp 10.000,- untuk membeli kesedihan itu, kesedihan yang harus kunikmati sendirian, kesedihan pada es krim kesukaanmu yang takkan pernah habis kujilati. Dan Mini Market ini sekarang berubah menjadi sebuah Tugu kenangan, tempat aku habiskan waktu mengenang senyummu di batang cokelat itu, senyum yang tak pernah kulihat lagi sejak 3 tahun yang lalu.







Thanks for visiting.


Kenangan bukan hal yang tabu untuk dinikmati. Kesedihan sesekali patut dirayakan. Mungkin kesedihan itu serupa warna kuning keemasan pada buih bir, atau kepak sayap kunang-kunang yang mencari kegelapan.
Saya persembahkan cerpen ini untuk seorang yang setiap hari merayakan kenangan dan kesedihannya dengan membeli sepotong ice cream magnum chocholate truffle dan sekaleng bintang untuk saya. Enjoy bro..


Love,
ham

LoveLetter Story Part 2

Mars
#30HariMenulisSuratCinta


“She may be the face I can’t forget , the trace of pleasure or regret, May be my treasure or the price I have to pay.. She may be the mirror of my dreams, the smile reflected in a stream. She may not be what she may seem. Inside her shell..”


Kepada Marsku,

Aku baru saja selesai membaca suratmu, aku membacanya di lampu merah pertama menuju kantor. Sore, begitulah nama yang tertera di belakang amplop surat yang kuterima siang kemarin. Aku langsung menyadari itu darimu, sebungkus rindu yang kamu samarkan dengan membalik namaku dan langit tempatmu terlahir.

Marsku, kabarku baik, aku sehat, tapi jangan tanyakan tentang rinduku. Aku kumpulkan setiap tetes rindu yang tercipta tiap kali namamu terlintas di kepalaku di dalam sebuah cawan anggur, agar bisa kita nikmati berdua saat tatap kita tak lagi terpisah senti. Agar dahaga kita lebur dalam kesejukan peluk yang akan membuat kita mabuk.

Sayang.. Bagaimana kabarmu? Bagaimana luka di hatimu? Maaf.. aku membuatnya basah lagi dengan sebuah kepergian, maaf.. aku belum bisa merawat luka yang kutorehkan atas nama cinta. Maaf, Mars..

Hari ini pekerjaan kantorku banyak sekali, aku membalas surat ini disela-sela aku membuat laporan yang dinanti bos sebelum sore datang. Ah, mau kubakar rasanya tumpukan dokumen yang tergeletak di atas mejaku, mau kujadikan abu. Seperti buku takdir Tuhan yang memisahkan kita, mau kucuri, lalu kuhanguskan hingga tak ada lagi goresannya yang bisa menjauhkan kita.

Mars, entah telah berapa kali aku memintamu bersabar, sungguh.. aku merasa tak berguna, lelaki macam apa aku, yang hanya bisa meminta kekasihnya terus bersabar, menanti sendirian melalui malam-malam yang gaduh akan sunyi.

Sayang, istriku baik-baik saja. Akan kusampaikan salammu kepadanya, aku juga berjanji akan merawatnya dengan baik, seperti janjiku kepadamu dulu. Sayang.. aku mohon, jangan lelah menungguku. Jangan bosan mengumpulkan rindu kita. Jangan pernah berhenti menulis mimpi-mimpi kita, biar nanti bisa kubayar segala sepi yang kamu rasa disaat jemariku kembali bisa membelai rambut panjangmu.

Dengar Elvis Castelo, Mars,  She.. Seperti itulah kamu di hatiku. Dulu dan sampai saat ini.

“She may be the reason I survive, the why and wherefore I’m alive. The one I’ll care for through the rough in ready years. Me, I’ll take her laughter and her tears, and make them all my souvenirs , for where she goes I’ve got to be the meaning of my life is..”





















hey lihat, Senja di kotaku, kuambil gambar ini hari minggu kemarin. Cantik, seperti kamu.


Mars,
Aku mencintaimu..

Venus

(Part 2, bersambung....)
Mars  #NowPlaying Elvis Castello - She..

Surat Cinta untuk Seorang Pria Beruban

#30HariMenulisSuratCinta

Surat cinta kali ini kupersembahkan untuk seorang pria tua beruban di Cibinong sana. Serdadu yang masih gagah di usia senjanya. Pakdeku tercinta.

Untuk Suranto Soekarso,

Dear pakde, hari ini uban – uban di kepala seseorang membuat aku mengingatmu, sehingga aku menulis surat cinta ini untukmu. apa kabar denganmu? apa kabar dengan uban – ubanmu? semoga uban – uban di kepalamu hanya bersikukuh menambah pasukannya di sana, tapi tidak di jiwamu.

Sudah lama sepertinya kita tidak bertemu, mungkin terakhir sewaktu kita jadi 'badut' pesta di pernikahan putri bungsumu yang batu itu. hehe.. Ya, ketika itu, aku dan engkau , kita menjadi 'korban'  keganasan istri dan anakmu dan didandani macam 'badut' dan dipajang seharian di resepsi pernikahan sepupuku meski dengan kemampuan tersenyum dan menyapa tamu  yang seadanya. Ah, kalau kulihat lagi foto-foto yang diambil di hari itu, rasanya aku ingin tertawa sekeras-kerasnya karena yang tampak disana duo pakde-keponakan with their dramatically face. LOL

Dalam kesempatan beberapa kali menelepon dan berkirim pesan singkat, yang menyiratkan dirimu yang sedang merindukan saat – saat bersama istri dan anak – anakmu (ketika mereka masih kecil pastinya) Karena, kau lihat saja, anak-anakmu sekarang setelah besar tak ada imut-imutnya sama sekali. hih. hehehe. Dan saat ini mereka bertiga sudah memiliki hidup masing-masing dan berpisah denganmu.

Pesan singkat yang kau tuliskan saat berdesak – desakan dalam bus kota SENEN-CIBINONG di perjalanan pulang bersama istrimu (yang juga budeku) dari rumah adikmu itu. Ketika  aku membaca pesan tersebut, aku berandai-andai jika aku menjadi seorang Ayah, bagaimana kelak aku harus merelakan banyak waktu dihabiskan untuk menyelesaikan lembar – lembar pekerjaan, bagaimana kelak aku harus menahan keinginan bercengkerama dengan istri dan anak – anakku demi kelangsungan hidup yang layak bagi mereka. Dan ketika selesai menghidupi mereka semua sehingga mandiri, aku ditinggal begitu saja, kesepian, dan sedikit menyesali tak sempat menikmati waktu yang panjang bersama putra-putri kecilku.

Mungkin, seperti dirimu,  aku akan sampai di depan rumah ketika lampu halaman sudah dipejamkan, istriku tengah tertidur di depan televisi yang masih menyala dan anak – anakku tengah larut dalam mimpinya. dengan langkah perlahan, aku akan masuk ke dalam rumah dengan mengenakan senyum, berjaga – jaga kalau salah satu dari mereka tiba – tiba terjaga.

Begitulah kukira seorang laki – laki kelak akan menjalani rutinitas tersebut. Seorang laki – laki yang kelak dipanggil ayah, ayah yang kadang payah melawan kerinduan bercengkerama dengan keluarganya, ayah yang terus menerus menagih janjinya untuk melunaskan hidup yang layak bagi keluarganya. Aku mempelajari hal tersebut dari ayahku dan banyak ayah yang kukenal, dan salah satu dari ayah tersebut adalah seorang Suranto Bin Dulah Karso.

Untuk seorang ayah yang kebetulan pakdeku sendiri.













Your sweet nephew, Love,
Ham

Note:
Terima kasih mbak ijo sudah menantang saya menulis sesuatu tentang pakde ku tercinta *kecuph

Januari 25, 2012

Surat Cinta untuk Ibu, Selamat Ulang Tahun Madam Karinah Soekarso

#30HariMenulisSuratCinta


Saat jauh banyak kata yang perlahan mulai tersusun indah di hidupku
Kata yang selama ini mungkin tak sempat ku ungkap karna gengsi

Banyak yang tersimpan dari dulu dan baru satu persatu muncul
saat aku sendiri
Merasa sepi dan mulai kehilangan..

Semua kata yang kurangkum menjadi “Sayang, Rindu dan Terima Kasih”

Saat ada dismpingNya, aku lupa mengatakan itu
Aku seakan sombong untuk sekedar bilang sayang
Sekarang saat jarak aku dan Dia sudah sangat jauh
Sudah sulit untuk bertatap..

Sudah terpisah.. semakin aku sadar aku menyayangiNya
Banyak yang telah Ia lakukan demi aku
Tapi baru sangat sedikit yang aku lakukan untuk Dia

Makin hari.. makin terasa sayang ini
Hanya untuk dia„ Hanya dia Seorang
Orang yang saat dekat tak pernah akur denganku
Orang yang selalu memarahiku
Orang yang paling berharga dalam hidup

Aku bukan apa apa tanpaMu
Sekedar ingin bertatap saja denganNya saat ini.. detik ini..
Tidak hanya lewat kata-kata gombal seperti di puisi ini
Aku ingin memeluknya… dan berbisik aku menyayangimu
Amat mencintaimu..

Makin hari makin besar cintaku
Aku rindu.. aku ingin selamanya ada disampingmu.. membantumu

Mengelap air matamu saat kau sedih
Ikut tertawa saat kau senang
Sekedar membantumu memotong sayuran di dapur, walau tak pernah sedikitpun aku menyukainya

Aku rindu momen itu
Aku ingin selalu disampingmu saat rambutmu mulai memutih
Mencuci pakaian kotormu„ memasak makanan kesukaanmu
Menjadi tanganmu.. saat tanganmu tak bisa lagi kuat membawa apapun
Menjadi kakimu.. saat kau mulai lemah untuk sekedar melangkah

Menjadi kebanggaanmu..
Menjadi kesayanganmu, cintamu, kasihmu, Anakmu yang berbakti..

Aku mencintaimu Ibu..
Aku Rindu.. Sangat rindu..
Rasa sayangku, boleh aku ungkapkan dengan perlakuan baik dan doa?

Sebagai ucapan Terima kasihku atas semua yang telah kau
berikan padaku

Sebagai ungkapan maaf atas semua perlakuan burukku.

Ibu, Aku menyayangimu
Ibu, Aku Menghormatimu
Ibu, Aku merindukanmu
Ibu,Aku akan selalu menjagamu



Selamat Ulang Tahun Ibuku Sayang,
Ibu, Kau Ibu Terbaikku..


Love,
Putrimu yang nakal, Hanisa Abdul Manan.
#30HariMenulisSuratCinta


Jan 25, 2012

Januari 24, 2012

Pesan Di Cermin

Tubuhku diombang – ambing tekanan air, cahaya bulan yang jatuh di permukaan air terlihat semakin jauh, mataku perih, air laut terus menerus masuk lewat lubang mulut dan hidungku. Mungkin sebentar lagi nyawaku akan melepaskan diri dari tubuhku. Samar kulihat lengan itu datang, lengan yang selalu kurindukan, lengan yang selalu menyelamatkan aku dari maut sekaligus membuat aku selalu ingin bermain dengan maut. Lengan itu, lengan dengan tatto namaku, lengan Erland: suamiku…

Aku membuka mata dengan napas terengah – engah, kupegang bajuku yang separuh kuyup, masih ada sisa – sisa pasir dan lengket air laut. Senyumku mekar kembali pagi ini, Erland datang semalam, ia kembali menyelamatkanku. Cahaya pagi mengubah warna tirai menjadi lebih berkilau, aku harus mengangkat tubuh letihku dari tempat tidur, memperbaiki keadaanku dan menyiapkan sarapan untuk Grace. Grace tidak boleh tahu bahwa aku belum bisa merelakan kepergian Erland, Grace hanya boleh tahu bahwa ibunya baik – baik saja.

“Bu, hari ini aku akan ke rumah Wanda, aku harus mengerjakan tugas mata kuliah Filsafat,” Grace berkata seraya mengambil gelas susu yang telah kusiapkan di meja makan.

“Ya, Grace, tapi jangan pulang terlalu larut, akan berbahaya untuk gadis sepertimu. Kenapa dengan matamu, Grace? Terlihat seperti habis menangis.”

“Oh, mungkin aku kurang tidur. Beberapa malam ini, aku sibuk mengerjakan tugas kuliahku, sehingga harus tidur dini hari.”

“Kalau ada waktu luang, pergunakanlah untuk istirahat. Kamu pergi naik apa? Mau bawa mobilku? Aku tidak akan ke mana – mana, kecuali malam nanti.”

“Tidak usah, Bu, aku naik kendaraan umum saja.”

“Ini kan hari sabtu, Axel tidak menjemputmu?”

“Tidak, Axel hari ini ada jadwal manggung bersama bandnya, jadi kami tidak bertemu hari ini. Aku berangkat ya, Bu, takut terlalu siang sampai di rumah Wanda.”

“Ya, Dear, hati – hati.”

Grace pergi terburu – buru setelah mencium pipiku, cara jalannya mirip sekali dengan Erland. Bukan hanya cara jalannya saja, tapi di wajahnya yang cantik aku menemukan cara Erland tersenyum kepadaku saat mengatakan semua akan baik – baik saja.

Aku lupa bahwa pagi ini aku belum membuka tirai jendela kamarku dan melihat pesan di jendela. Ya, jendela yang tetap berembun meski cuaca terik, jendela tempat Erland biasa menulis pesan: kau harus baik – baik saja, kau harus tetap mencintai aku dengan mencintai hidupmu dan Grace’. Pesan yang biasa ditulis Erland setelah menyelamatkanku dari percobaan bunuh diri di pantai. Aku membuka tirai jendela kamarku, pesan itu ada, cuma Erland yang mampu mengembunkan jendela meski musim panas. Pesan itu seperti rahasia yang harus kuhapus sebelum Grace membaca dan mengetahui bahwa Ayahnya belum mati saat liburan dulu, bahwa Ayahnya tak akan pernah bisa mati, bahwa Ayahnya adalah seorang Vampire.

***

Matahari menenggelamkan separuh tubuhnya di laut, aku dan Erland saling bergenggaman tangan dengan separuh tubuh ditelan air laut. Kami berjalan ke depan, seolah – olah kami mampu mencapai tubuh matahari yang separuh tenggelam di kejauhan. Aku memalingkan wajah sejenak ke belakang, ke arah Grace, gadis kecilku yang cantik. Grace tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah kami, seakan ingin menyampaikan salam perpisahan sambil tersenyum.
Kupalingkan tatapan ke wajah Erland, wajahnya tertunduk, terasa dingin dan berkilau. Erland menatap wajahku dan berkata,

“Shannon, jaga Grace, aku tidak bisa hidup bersama kalian lagi. Orang – orang di sekitar kita akan mengetahui bahwa aku seorang vampire,ini akan membahayakan kalian, aku harus pergi demi kalian.”

“Apa maksudmu? Kita bisa berpindah – pindah tempat, dan orang – orang tak akan tahu rahasiamu. Demi Tuhan, jangan pergi, jangan tinggalkan aku.”

“Shannon, dengar! Aku ingin kalian hidup bahagia. Suatu hari Grace akan bertanya, mengapa ayahnya tak pernah menjadi tua!”

“Kita masih bisa memikirkan jawabannya, Erland! Demi Tuhan, jangan mengambil keputusan tanpa memikirkan hidupku nantinya.”

“Aku sudah memikirkannya, kau bisa bekerja dan menjual beberapa asetku untuk biaya hidup kau dan Grace. Aku akan pergi dengan cara seolah – olah aku mengalami kecelakaan di pantai ini. Aku tidak akan muncul kembali di hadapan kalian. Aku mencintai kalian.”

Erland mencium bibirku sebelum aku sempat bicara. Kemudian ia mendorong tubuhku dan berlari ke arah matahari tenggelam, berlari sampai ombak menghapus tubuhnya.

***

Hari sudah larut malam, seperti biasa, setiap akhir minggu aku akan pergi ke pantai, menenggelamkan diriku dan menemui Erland. Sudah menjadi kebiasaanku bahwa dengan cara seperti ini, aku bisa menemui Erland. Kunci rumah kutaruh di pot bunga, tempat di mana aku dan Grace biasa menaruh kunci. Grace meneleponku dan bilang bahwa ia pulang agak malam dari rumah Wanda. Aku masuk ke dalam mobil, menuju ke pantai yang dulu dijadikan Erland sebagai tempat meninggalkanku.

Selama di perjalanan aku tersenyum, aku siap menemui seseorang yang sangat kucintai, aku siap merasakan kehadirannya dengan nyata. Aku terus menerus memikirkan apa yang akan terjadi nanti, hingga tak terasa aku telah melihat pantai. Aku memarkirkan mobil, kemudian keluar dari mobil dengan berlari, mengampiri laut, menghampiri maut sekaligus kebahagiaanku. Aku berlari dengan cepat sehingga tak terasa permukaan air telah berada di atas kepalaku.

Sekali lagi, tubuhku diombang – ambing tekanan air, cahaya bulan yang jatuh di permukaan air terlihat semakin jauh, mataku perih, air laut terus menerus masuk lewat lubang mulut dan hidungku. Mungkin sebentar lagi nyawaku akan melepaskan diri dari tubuhku. Samar kulihat lengan itu datang, lengan yang selalu kurindukan, lengan yang selalu menyelamatkan aku dari maut sekaligus membuat aku selalu ingin bermain dengan maut. Lengan itu, lengan dengan tatto namaku, lengan Erland: suamiku…

Aku terbangun dengan napas terengah – engah, aku tersenyum, karena Erland sekali lagi menyelamatkanku semalam, karena Erland tidak pernah benar – benar pergi. Aku teringat Grace, aku bangkit dari tempat tidur dan segera keluar mencari Grace.

“Grace, Grace, di mana kamu, Dear?”

Aku terus memanggilnya, tapi tidak ada suara menyahut. Aku menuju kamarnya, kulihat pintu kamarnya setengah terbuka. Grace ceroboh sekali, tidak menutup rapat pintu, pikirku. Aku membuka pintu kamarnya dan tercekat, banyak darah di sana. Aku melihat tubuh Grace di dekat jendela, darah yang berceceran ini dari tubuh Grace! Aku berlari menghampiri Grace, aku menggoyang – goyangkan tubuhnya, aku terus – menerus memanggil namanya, aku berharap ia hanya bergurau, aku berharap bahwa cairan yang berceceran di lantai dan tubuhnya bukan benar – benar darah. Aku mendekatkan telinga di dadanya, tak ada detak jantung, Grace telah mati. Airmataku tumpah seketika, aku menampari wajahku berkali – kali, berharap ini hanya mimpi. Aku mencoba mengangkat tubuh Grace, memeluknya dengan posisi berdiri sehingga posisiku menghadap jendela. Ada tulisan di jendela, tapi bukan tulisan Erland, tulisan dengan noda darah. Sambil tetap memeluk tubuh Grace, aku membaca tulisan itu:

"Ibu, maafkan aku melakukan ini, aku tak tahu harus berbuat apalagi. Axel meninggalkanku, perasaanku kacau sekali. Aku mencari Ibu, tapi Ibu tak ada di rumah. Aku mencintaimu, Bu. Aku mencintaimu…."

Thanks for reading my 'cerpen' guys,
ingat ini realita. jangan pernah mengharapkan akhir yang bahagia, karena kebahagiaan yang sejati itu tak pernah berakhir :'>

Love,
ham

LoveLetter Story Part 1

Well, another shalloom for me, stalker!

terimakasih untuk kesetiannya mengikuti blog yang menuruti mood-mood an sang admin yang hanya seorang. Di event #30HariMenulisSuratCinta ini, surat cinta berbalas is a best idea! Just let me attack your deepest heart with this part by part of my Loveletter. Enjoy! :)


VENUS
#30hariMenulisSuratCinta


Venus,

Apa kabar soremu di sana?

Tiba-tiba winamp di laptopku memutarkan lagu Boyzone – I love the way you love me, lagu yang biasa kamu nyanyikan di telingaku sebelum kita tertidur.

“I like the feel of your name on my lips, and I like the sound of your sweet gentle kiss. The way that your fingers run through my hair, and how your scent lingers even when you’re not there. And I like the way your eyes dance when you laugh, and how you enjoy your two-hour bath, and how you’ve convinced me to dance in the rain, with everyone watching like we were insane..”

Begitu katamu.. suaramu yang tak sebagus Ronan pun terdengar makin parau karena kamu menyanyikannya dikala kantuk menguasaimu.

Venus, kamu tau kan, betapa bencinya aku ketika kepalaku disentuh oleh siapapun? Entah, sihir apa yang tertanam di jemarimu, hingga sentuhan jemarimu justru menjadi candu di sela-sela rambutku.

Lelakiku, aku mengagumi caramu memaki dunia, namun selalu tersenyum saat menyapa sesama, dan.. masih saja tersipu saat kusapa. Venusku.. aku masih memakai parfum yang terakhir kamu berikan saat pertemuan terakhir kita, baumu masih melekat di sana, kukenakan untuk menemuimu di alam mimpi, satu-satunya tempat dimana aku bisa menatap matamu yang teduh untuk saat ini.

Venus, di sini hujan, ingat janji kita? Kita mau buat orang-orang iri melihat kita berdansa di tengah hujan selayaknya anak kecil yang kegirangan mendapatkan es krim. Aku masih ingat tiap kata yang kamu ucapkan. “Tunggu” katamu, iya.. aku akan menunggu, Venus. Menunggu hingga akan terulang lagi pagi di mana wajahmulah yang kulihat pertama kali saat membuka mata, membuatkanmu sarapan roti isi kacang dan secangkir kopi hitam.

Oh iya, hari ini lagi-lagi aku mandi menghabiskan waktu satu jam, kamu pasti benci sekali mengetahui hal ini, dan tadi aku menggunakan handukmu, jangan tanya kenapa, alasannya masih sama dengan kenapa aku masih saja mengenakan parfum pemberianmu, agar aroma tubuhmu melekat di tubuhku, itu satu-satunya hal yang bisa sedikit mengobati rinduku. Semoga kamu tidak keberatan, aku berjanji, jika kamu pulang nanti, aku pastikan handukmu sudah tercuci bersih lagi.

Venus, aku mencintai setiap kenangan yang pernah kita tulis, aku mencintai setiap kata dan perbuatan yang telah kamu berikan kepadaku. Aku mencintai caramu mencintaiku.

Aku sanggup menuliskan satu persatu hal apa pun yang ada pada dirimu yang menjadi alasan kenapa kamu mudah sekali untuk dicintai, namun semuanya akan berakhir pada satu alasan—aku tidak bisa jika tidak mencintaimu.

“Strong and wild, slow and easy. Heart and soul so completely, I love the way you love me..”

Aku suka dengan segala yang ada pada dirimu, kecuali satu hal—aku belum bisa menyebutmu ‘milikku’.

Venus, salam untuk istrimu. Jangan lupa ingatkan dia untuk minum obat teratur, kau sering cerita wanita yang satu itu sering kali lalai.


















Aku mencintaimu,
Mars

(Part 1 bersambung.... haninya matek dulu abis nulis ini)
#NowPlaying Boyzone - I Love The Way You Love Me

Januari 22, 2012

Terdiam Dijalan Pulang

Kepada malam dengan segala kesunyiannya, dia diam
Dia hanya diam, menatap ramai dibalutan bintang yang terlalu terang
Dia hanya tersedu, saat sapa menyentuhnya
Dia menunduk, seolah memberi isyarat ‘jangan lihat aku’

Dia diam, tapi tidak diam
Dia tersedu , tapi mengelak dibilang sendu
Dia menunduk, tapi dia yakin ini bukan terpuruk

Dia? Dia itu aku, Hawa yang sepi.
Hawa yang mencari apa yang sedang dia cari
Hawa yang berdoa akan segala kediamannya
Menerobos pagar-pagar imajinasi pencarian
Aku hanya diam saat bertanya pada Pecipta tentang kehadiran ku di dunia

Aku hanya diam saat peluru-peluru duka menghampiri bertubi
Aku diam, aku bilang ini pertahanan
Aku diam, aku sedang menikmati diam

Kata mereka suara ku makin lirih, suara ku terlalu sendu untuk didengar dunia

Aku diam, seolah tersesat dipelabuhan yang belum ku kenal
Mencari tempat yang bisa ku panggil ‘rumah’
Mencari sosok yang bisa ku akui sebagai jati diri
Mencari teman yang bisa aku panggil sayang
Mencari selimut yang bisa aku panggil sahabat

Diam, tadinya aku bukan pendiam
Aku diam setelah lelah menapak diribuan aspal tanpa beralaskan nyaman
Aku diam saat semua doa selesai kuhaturkan

Aku menjadi diam saat menyadari terlalu banyak topeng disekitarnya
Aku diam……menyerah…….jatuh…..diam…

Satu yang ku tau, satu yang ku tanya
Hanya satu didalam diam ku yang kuyakini harus harus kutanya
Hanya satu jawaban yang kini ku butuhkan Tuhan, Dimana rumahku?

Aku diam, karena semuanya diam
Tidak ada yang menjawab segala diam ku

Aku rindu rumah, butuh sosok yang bisa ku panggil rumah
Tempat bersandar mengubah segala diam ku dengan senyum
Aku hanya rindu rumah yang bisa memeluk ku di dinginnya malam

Aku butuh Ibu, yang bisa mengusap rintih ku dengan segala doa
Aku butuh rumah..
Aku butuh pulang..

Didalam diam ku, aku berdoa agar dituntun kerumah
Rumah yang bisa menghangatkan ku dari segala dingin topeng-topeng dunia
Rumah yang bisa membuat aku percaya ‘aku tidak sendiri’

Kata mereka.. segala diam ku, segala doa di dalam hatiku..
Segala tangis dalam sepi ku, segala dingin dalam benak ku..
Segala yang ku rasa….segala yang membuat ku terdiam..
Cuma butuh peluk, peluk ibu, peluk sahabat, peluk sesama yang mencintaimu

Mereka bilang.. Jangan diam..
Ada mereka yang akan pinjamkan selimut untuk sepiku
Ada mereka yang sudi pijamkan hati untuk ku jadikan rumah
Ada mereka yang sediakan cinta untuk ku panggil rumah

Mereka bilang.. Jangan diam… jangan sendu…jangan menangis
Ada mereka disini, topeng-topeng bernama sahabat yang selama ini ku ragukan
Para sahabat yang ku fikir hanya diam melihatmu diam

Mereka bilang.. ‘Peluk kami’, menangislah dibahu kami,anggap kami Rumahmu
Karena kami menyayangimu…

Mereka bilang ‘maafkan kami’ yang tidak bisa menyentuh kediamanmu sebelumnya

Mereka bilang ‘kemari sahabatku’, kami disini akan menjadi Rumahmu

Mereka bialng ini bukan topeng, mereka minta jangan ditanya lagi

Mereka bilang aku Rumah mereka..

Mereka bilang ‘genggam tangan kami dan ayo pulang, jangan diam lagi’

Aku bilang.. Aku mau pulang
Aku bosan diam, aku bosan dengan kata ‘kami’
Aku kering disini
Aku hawa yang terbuang
Aku memilih diam

Aku diam menjawab apa yang mereka ‘bilang’
Aku pulang..aku mau pulang.. Pulang..
Teriak ku yang terisak didalam hati
Pulang..

Dalam diam, aku makin diam
Makin diam saat mendengar apa yang mereka ‘bilang’
Terlalu lama sepi ini menanti apa yang mereka ‘bilang
Aku memilih diam. Diam..benar-benar diam
Menyimpan semua tanya hanya untuk aku dan Tuhan

Aku akan terus diam
Diam..diam dan diam.. Hingga semua diamku dijawab dengan genggaman manis menuju rumah
Diam benar-benar diam..hingga aku tau jalan pulang
Diam.



Love,
ham

Januari 21, 2012

Senja Dibalik Kaca

Aku lupa, sore sudah turun berapa lama. Langit telah berganti jubah;
biru – putih – emas – merah




selalu penuh rahasia, tak terduga.


Aku lupa,
sedang berada dimana
– di antara bukit-bukit keemasan,
pohon-pohon berjejeran,
segalanya melesat terlalu cepat, tak terbaca.


Selintas,
pandangku menangkap bola api saga,
terpantul dari kaca yang sempat terjangkau mata;
Melayang sendirian diantara semburat langit emas
Berdiam menggeliatkan sengit yang meranggas.


Aku terpesona.
Tiba -tiba langit jatuh,
menimpaku. Menimpa ingatan, lalu melontarkanku seketika
ke dalam sore yang jauh;
ke dalam senja yang purba;


Masih sama merah,
kali itu terpantul dari bola matamu,
yang sama juga merah,
yang terpaku menatapku;


bercumbu, berpagut, bercinta
dengan wanita yang entah siapa
– Aku lupa.


Kala itu,
sebuah senja terpantul di bola mata,
mengeruh, mengeras, mengerak,
tinggal kelam.


Kini,
sebuah senja terpantul di balik kaca
memudar, memendar buram
kutinggalkan dalam rengkuhan malam


Aku melaju,
menanggalkan masa lalu;
meninggalkanmu,


Meninggalkan senja kelam di bola matamu,
dari balik kaca;
hatiku.




Senja Dibalik Kaca
Januari 2012,
ham

Hujan Dikala Senja

Sepiku membeku, meronta didalam sebuah jantung yang hampir biru menahan pilu

Kali ini aku memilih diam, terdiam dikala Senja

Mencoba mengenang yang tersisa, entah apa guna

Aku ingat, dibawah langit sore kala itu, menanti Senja denganmu

Seorang pemuda Hujan yang masih saja membuatku merona tiap kali melihat lengkung senyum diwajahnya

Kamu. Masih ingatkah? Masihkah terasa pelukanku saat malam mencabut nyawa langit kesukaanku

Ah..itu dulu, cerita ini sudah tak bisa lagi melahirkan tawa tiap kali kukenang

Senja kali ini, aku mengadahkan kepala, membiarkan rintikmu membasuh rindu yang makin kelabu

Sayangku, dimana kamu? Disini makin berdebu, aku butuh sentuhmu

Sayang? Apa masih bisa aku memanggilmu “Sayang” ?

Entahlah, lidahku terlalu kaku untuk mengeja kata keramat itu tiap kali suaramu menyapa

Ah..gila, ada apa dengan aku?

Ada apa dengan kamu?

Ada apa dengan segala kedinginan yang makin menjauhkan kata ‘kita’ ?

Ada apa, Sayang?


Boleh aku minta satu? Satu kali saja temani aku menikmati Senja dengan bersandar dibahumu

Boleh aku minta satu? Satu kali saja belai rambutku seperti dahulu

Boleh aku minta satu? Kecup keningku sebelum malam berlalu

Boleh aku minta satu? Peluk aku, berpura-puralah menjadi sayapku tanpa mengganggapku sebagai benalu

Boleh aku minta satu? Temani aku menari dibawah Hujan seperti janji yang telah berlalu

Boleh aku minta satu? Tatap kedua mataku dengan dalam, panggil aku “Sayang”, sekali saja, sebelum karma membunuh ku karena terlalu sendu

Masih bolehkah aku meminta satu? Kamu. Yang dulu.

Boleh?

Januari 2012,
Hujan Dikala Senja
ham

Ada Yang Selalu Yang Mungkin Kau Tak Tau

Ada yang selalu datang bersama fajar:
meniupkan wangi bunga, menampung kesegaran embun — ialah dia yangg selalu ingin kauingat setiap pagi
Ada yang selalu menaungimu dengan keteduhan:
ketika siang beranjak terik — ialah dia yang selalu mendoakan keselamatanmu dari kejauhan
Ada yang selalu mengendap dalam senja:
menggeletar di udara — ialah dia yang selalu menyambutmu dengan senyum setiapkali kau tiba
Ada yang selalu turun bersama gelap nun di langit sana:
ketika maghrib menggema — ialah dia yang rela merentangkan sayapnya sebagai cahaya
Ada yang selalu menyelusup serupa dingin:
yang meningkap beranda dan jendela — ialah dia yang sepanjang malammu terus-menerus berjaga
Ada yang selalu menjaga keheningan nafasmu:
dari mimpi buruk yang ingin menyentuhmu — ialah dia yang telah lama hidup dalam nadimu
Ya, ada yang selalu mencintaimu, yang selalu sedekat hidupmu, ialah dia — yang barangkali tak pernah kau tahu.

Januari 2012,
Abdul Manan, Hanisa.