Welcome to My Scratch Wall, Stalker..
Save your heart, stop stalking my journal!
Don't ever say I haven't warn you before.

Januari 30, 2012

Bocah Hujan

Langit siang ini gelap, seperti biasanya aku melepaskan pakaianku dan berlari keluar rumah dengan begitu riang, apalagi hari ini adalah tanggal 25 Januari hari ulang tahun Ibuku. Aku berlari dengan cepat seolah tak ingin melewatkan tetes pertama hujan yang jatuh dari langit. Ayahku seperti biasa, hanya mampu melihat aku bermain hujan lewat jendela rumah tanpa banyak melarang, hanya berkata padaku untuk jangan terlalu lama bermain hujan. Ayah dan orang-orang di sekitar rumahku sudah hapal tentang kebiasaanku yang suka bermain hujan. Oleh sebab itu banyak yang menyebutku sebagai Bocah Hujan, julukan yang sudah di alamatkan kepadaku sejak 5 tahun terakhir sampai sekarang, saat usiaku 12 tahun yang seharusnya tak dimaklumi lagi untuk bermain hujan, kecuali oleh orang-orang yang sudah tahu alasan aku begitu mencintai hujan.

Hari ini ulang tahun Ibu, maka aku sudah mempersiapkan kado untuknya. Sudah sebulan aku mempersiapkan kado untuknya dengan bantuan Mbak Danisa tetanggaku. Mbak Danisa sangat pintar menggambar dan pelajaran matematika, maka sudah hampir sebulan ini aku belajar dengannya. Aku bilang pada Mbak Danisa bahwa aku ingin belajar menggambar dan ingin menggambar Ibu dan aku sedang berpegangan tangan di depan sebuah istana yang bagus sekali, di langitnya akan ada hujan dan pelangi yang warnanya merah, kuning, dan ungu. Sebab, Ibuku tak suka warna hijau yang mirip warna katak. Ibuku sangat takut katak, maka ia tak suka warna hijau, apalagi warna hijau muda. Aku ingin belajar matematika dengan Mbak Danisa karena ingin mendapatkan nilai bagus untuk ulangan matematikaku. Aku ingin membuktikan pada Ibu bahwa anaknya suatu saat bisa jadi Presiden, sebab kata Ibuku, Presiden itu harus pintar pelajaran matematika.


***


Aku sedang bermain mobil-mobilan, sampai akhirnya aku dengar suara mobil datang. Seketika aku berlari menghampirinya. Kulihat Ayah dengan senyum menggendong Ibu dan mendudukkannya di atas kursi rodanya. Kemudian Ayah masuk ke dalam rumah untuk membereskan kamar sebelum Ibu masuk dan istirahat. Sudah cukup lama Ibu duduk di atas kursi rodanya, maka saat itu aku memberanikan diri bertanya.
“Ibu lagi sakit?”
“Enggak, Sayang. Kenapa kamu tanya seperti itu?”
“Kata Pak Guru orang yang duduk di kursi roda itu berarti sedang sakit.”
“Sssttt, Ibu Cuma ingin agar dimanjakan oleh Ayahmu. Lihat sekarang , Ayahmu jadi rajin menggendong dan menemani Ibu kemanapun bukan?”
“iiiihhh, Ibu curang. Kalau begitu aku juga ingin berpura-pura seperti Ibu.”
“Kamu ga perlu pura-pura sayang, Nanti Ibu yang gendong kamu deh, tapi kamu harus janji jangan kasih tahu Ayahmu rahasia kita ini.”
“Iya, aku janji.”
Ibu menyuruhku duduk di pangkuannya, kemudian Ayah keluar dari dalam rumah dan tersenyum kepada kami berdua, tapi entah kenapa kulihat matanya sedikit basah dan aku tak tahu kenapa bisa seperti itu.

HARI ini tanggal 25 Januari, dan kata Ayah adalah hari adalah ulang tahun Ibu. Ayah bilang padaku kalau nanti kita akan memberikan kejutan pada Ibu. Aku tak tahu kenapa sudah seminggu lebih Ibu tak pulang kerumah, bahkan 3 hari yang lalu ia hanya mengucapkan selamat ulang tahun ke 7 kepadaku lewat telepon, katanya ia sedang di rumah sakit. Aku tersenyum, pasti Ibu sedang pura-pura lagi supaya semakin dimanjakan oleh Ayah. Kudengar suara mobil Ayah datang, aku sudah siap bertemu Ibu dengan baju bergambar robot Optimus Prime favoritku yang dibelikan Ibu dulu. Katanya ,aku mirip seperti Optimus Prime yang kuat dan tidak cengeng. Kemudian Ayah datang menghampiriku, membungkuk dan memberikan sebuah kotak hadiah kepadaku.
“Apa ini? Untukku?”
“Bukan, Sayang. Hadiah ini untuk Ibumu, nanti kamu yang harus memberikannya.”
“Kenapa aku, Yah?”
“Sebab nanti Ibumu pasti lebih senang jika menerimanya darimu.”
“Boleh tahu isinya?” Ayah menggeleng, kemudian memelukku sejenak.
Akhirnya aku dan Ayah tiba di rumah sakit, di sana aku melihat banyak sekali orang yang tak kukenal. Tapi kenapa wajahnya murung? Pasti karena rencana pura-puranya gagal, tak seperti Ibu yang berhasil dimanjakan oleh Ayah. Setelah melewati banyak wajah yang murung itu, akhirnya aku sampai ke kamar tempat Ibu menginap. Kulihat Ibu tersenyum, meski wajahnya tampak terlalu putih saat itu dan aku tak suka melihat wajah Ibu yang memakai bedak ketebalan.
“Hai, . Optimus Prime kecilku, Bawa hadiah untuk Ibu?”
“ Bawa dong, tapi yang membeli Ayah. Aku gagal mengumpulkan uang jajanku, soalnya sudah seminggu aku selalu ingin makan es krim, Bu.”
Kemudian Ibu menyuruhku untuk memeluknya, dan tiba-tiba aku sempat melihat matanya basah, sama seperti yang sering kulihat di mata Ayah seminggu ini.
“Kenapa mata Ibu basah? Menangis?”
“Enggak, Sayang. Ini namanya hujan kecil, hujan yang turun karena Ibu sayang padamu, dan hujan kecil ini bisa turun saat ibu kangen padamu.”
“Horeee, berarti Ibu sayang sekali padaku. Tapi, kenapa wajah Ibu putih sekali hari ini?”
“Ibu mau pergi sayang, makanya Ibu memakai bedak yang tebal supaya kelihatan putih dan cantik.”
“Mau kemana? Aku ikut ya Bu…”
“Ibu mau pergi jauh ke Negeri hujan, kamu ga boleh ikut sayang.”
“Negeri hujan? Di mana? Lebih jauh dari rumah Nenek?”
“Lebih jauh, Negeri hujan ada di langit. Di sana Ibu akan tinggal di sebuah isana yang bagus sekali, nanti akan ada pelangi di depan istana, dan Ibu akan sering melihatmu dari sana. Makanya kamu ga boleh nakal, dan harus pintar di sekolah.”
“Berapa lama Ibu di sana?”
“Sampai kau nanti jadi Presiden sayang.”
“ Bagaimana caranya supaya jadi Presiden, Bu?”
“ Kamu harus pintar pelajaran matematika dan harus tetap nurut dengan Ayahmu.”
“Oke, aku janji. Tapi bagaimana kalau aku lagi kangen Ibu?
“Heemmm, Ibu akan menurunkan hujan dari istana hujan, dan kamu bisa tahu kalau Ibu sedang memperhatikan dan kangen kamu.”
“Ok, tapi ibu harus janji untuk sering turunin hujan dari istana hujan ya.”
Kemudian aku dan Ibu berpelukan bergitu lama, sampai akhirnya Om Ridwan menjemput aku dan membawaku ke rumah nenek selama seminggu. Aku tak tahu untuk apa aku diajak ke rumah Nenek, katanya nenek kangen aku, tapi entah kenapa wajah Nenek selalu murung setiap melihat wajahku.

Setelah seminggu di rumah Nenek aku dijemput Ayah pulang ke rumah, sejak di rumah sakit itu aku tak pernah lagi menemukan Ibu dan sering mendapati Ayah tampak murung sendirian untuk kemudian memelukku.

***
Aku belum terlambat, sehingga masih bisa merasakan tetes hujan pertama sambil menggenggam kertas yang sudah kugambar dan kertas ulangan matematikaku yang mendapat nilai 90. Hari ini aku ingin memberitahu kepada Ibu bahwa aku sudah pandai menggambar dan nanti dengan nilai matematika yang bagus aku akan bisa jadi Presiden. Sebenarnya aku tak suka jadi Presiden, dan lebih suka jadi dokter, aku hanya ingin jadi presiden supaya bisa bertemu Ibu.
“Ibu, selamat ulang tahun. Hari ini aku memberikanmu hadiah. Aku menggambar Ibu dan aku sedang bergenggaman tangan di depan Istana hujan. Di depan istana kugambar pelangi, warnanya merah, kuning, dan ungu. Ibu, lihat deh, aku dapat nilai ujian matematika 90, berarti aku nanti akan jadi Presiden dan segera menemui Ibu. Bu, aku kangen Ibu…”

Lalu seperti biasa, Ayah akan menjemputku dengan payung sebelum aku puas mengobrol dengan Ibu, dan sekali lagi aku harus menurut kepada Ayah. Karena Cuma dengan menurut pada Ayah aku bisa segera menjadi Presiden, dan menemui Ibu. End.

***

Sebuah cerpen untuk adikku Malvino. Terima kasih udah ngajarin mbak Hani jadi anak yang kuat sepertimu, dek. Semoga mbak Hani selalu bisa jagain dek avin. Buat tante niken di surga, lihat tan, avin jadi anak kebanggan kita semua.  Miss you so bad..

Love,
ham

2 komentar:

  1. Merinding,
    Terharu,
    Nangis,

    Good Job!!
    Elo sukses ngebuat gue cengeng lagi dan lagi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. duh gusti, dosaku makin banyak aja nih sepertinya. bikin orang-orang nangis.

      Hapus