Welcome to My Scratch Wall, Stalker..
Save your heart, stop stalking my journal!
Don't ever say I haven't warn you before.

Februari 01, 2012

Saat Cinta Tak Harus Dipertahankan

Tok.. Tok.. Tok.. Palu hakim diketukkan tiga kali, pertanda perpisahan kami telah sah di mata hukum. Ku seka air mata yang jatuh di pipiku, aku harus kuat, harus mampu menahan perih ini. Bagaimanapun juga ini adalah pilihan terbaik. Tak ada yang lebih baik, karna memang tak ada pilihan lain.
Aku masih tertunduk lesu di ruang persidangan. Alvin segera menghampiriku, memelukku, membenamkan kepalaku di bahunya yang kekar, bahu yang selalu menjadi tempat bagi luka-lukaku, tapi kini harus ku tinggalkan. Kami menangis, dan mencoba saling menguatkan.

**

Sudah dua hari badan Angel panas, ia terlihat pucat dan nafsu makannya menurun, ia juga tak pernah lagi menghabiskan susu botol yang ku buatkan. Malam itu aku dan Alvin segera membawanya ke rumah sakit, setelah menjalani pemeriksaan sana sini akhirnya dokter mengatakan apa penyakit yang diderita oleh Angel.
“Bu, bedasarkan pemeriksaan yang kami lakukan, dapat disimpulkan bahwa anak bapak dan ibu mengidap penyakit kelainan darah.” napasku terhenti sesaat, ketegangan merayap dalam tubuhku perlahan, aku mencoba menerka nerka kata dokter dan berusaha mensugesti diriku sendiri bahwa penyakit ini tidak berbahaya. Bagaimanapun juga kata kelainan darah cukup menggetarkan hatiku. Tapi aku gagal, setelah ku dengar apa kata dokter selanjutnya. “Penyakit ini merupakan kelainan darah yang diwariskan oleh orang tuanya dan di derita oleh anak sejak lahir. Kelainan ini berupa pendeknya usia sel darah merah yang dimiliki dan sel darah merah tersebut tidak bisa berkembang.” pikiranku seperti dipenuhi berkarung-karung tanda tanya yang sebentar lagi pasti akan terjawab. Tapi kelainan darah seperti apa? Tertular dari akukah? Alvin kah?
Aku berusaha tenang, meski pada saat itu aku tak bisa berpikir apapun, aku kalut, bingung, sedih, semua teramu dalam hatiku.
“Lalu bagaimana pengobatannya dok?” ucap Alvin sembari merangkul pundakku. Aku tahu ia mencoba menenangkanku.
“Sampai saat ini belum ditemukan obat untuk menyembuhkannya.” seperti mendengar suara petir yang cukup keras dan petir tersebut mengenai tubuhku dengan tepat, tanpa meleset satu incipun. Tak lagi ku rasakan apapun kecuali airmata yang tak berhenti mengalir dari sudut mataku. “untuk bisa membuatnya tetap bertahan hidup, sepanjang hidupnya anak bapak dan ibu harus menjalani tranfusi darah, hal ini untuk mengganti sel sel darah merah yang telah mati.” terang dokter.
“sepanjang hidupnya dok?” tanyaku. Dokter itu hanya mengangguk. Seluruh persendianku menjadi lemah, bahkan untuk menggerakkan tangan dan kakiku pun terasa sangat berat. Satu satunya anggota tubuh yang bisa ku gerakkan adalah kelopak mataku. Berkedip. Silih berganti ku dengar penjelasan dokter dan pertanyaan pertanyaan Alvin kepadanya, sementara aku tak mampu bersuara sedikitpun.

**

Belum genap satu tahun seusai vonis dokter, Angel menghebuskan napas terakhirnya. Mungkin ia telah lelah menjalani rutinitas hidupnya, obat, suntikan, obat, suntikan. Sementara aku dan Alvin harus banting tulang dan otak untuk membiayai pengobatan Angel. Bayangkan sepuluh juta rupiah harus kami siapkan tiap bulannya untuk biaya pengobatan. Andai saja kami adalah orang kaya, maka itu bukanlah masalah sulit.
Aku hanya ibu rumah tangga yang membuka usaha salon kecantikan di rumah, sementara Alvin hanya hanya seorang pegawai disebuah perusahaaan swasta. Total pendapatan kami dalam satu bulan paling banter hanya lima juta rupiah. Itu pun masih harus digunakan untuk keperluan rumah tangga. Setahun berjuang membeli tiap tetes darah dan obat untuk nafas Angel, kami telah menjual rumah yang kami tempati dan pindah kerumah kontrakan, mobil butut yang biasa Alvin gunakan untuk bekerja pun telah terjual untuk pengobatan.
Kalian bisa bayangkan betapa sakit dan hancurnya hatiku menerima kenyataan Angel harus meregang nyawa diusianya yang baru 15 bulan. Padahal aku dan Alvin telah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankanya. Saat itu aku merasa seluruh duniaku berguncang, tiap aku berjalan seperti hanya ragaku yang malayang-lanyang dan jiwaku masih tertunduk tersedu di kamar Angel.

**

”Vin, aku tak bisa melanjutkan kisah ini” ucapku terbata dengan airmata yang mengalir deras di mataku.
”Maksudmu?” jawab Alvin dengan muka bingung. Aku tahu sebenarnya dia tahu apa yang aku katakan, dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, namun ia hanya berusaha menahanku, pura-pura tak mengerti agar aku tak jadi mengucapkan semuanya. Tapi aku tak mau peristiwa yang sama terulang, aku tak sanggup harus kehilangan buah hatiku dengan penyakit yang sama.
Aku dan Alvin sama sama pengidap Thalasseamia minor, maka kelak anak (keturunan kami) berpeluang untuk mengidap thalasseamia mayor (seperti Angel) meskipun tidak 100% karna masih ada kemungkinan bahwa anak kami bisa saja normal karena mewarisi masing-masing gen baik kami, Thallasseamia minor karena mewarisi salah satu gen gagal, atau kemungkinan terburuknya adalah Thalasseamia mayaor karena mewarisi gen buruk dari kami berdua. Tapi aku tak mau main untung-untungan, kehilangan Angel telah membuat separuh hidupku hancur dan aku tak mau kelihangan lagi anak-anakku kelak karena hal yang sama.
Bukan hanya karena aku takut kehilangan, jika saja pernikahan ini terus kulanjutkan maka dengan sengaja aku telah membiarkan calon anak kami terlahir dengan penyakit yang berbahanya hanya karena keegoisan cinta.
”Aku ingin mengakhiri pernikahan ini, agar kelak tak ada lagi Angel lain dalam hidup kita, agar tak ada perih lain yang mengiris-iris hati kita” aku berusaha kuat. Aku yakin ini adalah pilihan terbaik, meski adalah jalan tersulit.
”Aku menyayangimu Gita, sangat menyayangimu, bagaimana aku bisa melepasmu, sungguh aku tak akan bisa hidup tanpamu,” Alvin mendekap tubuhku, aku tahu saat ini dia benar-benar bersedih.
”Aku tahu Vin, kita memang saling mencintai. Tapi apakah cinta yang egois yang kita miliki? Apakah cinta yang sadis harus kita pertahankan? Mengorbankan kehidupan anak-anak kita kelak? Aku tak sanggup Alvin. Sungguh aku tak sanggup” tangisku pecah di bahunya.
Sesaat suasana hening, kami tenggelam dalam airmata masing-masing. Mencoba menemukan terang dalam kegelapan.
”Git, kita bisa memilih tidak memiliki anak sayang, kita adopsi saja anak yatim untuk kita rawat” Alvin memecahkan kesunyian, berusaha memberi pilihan.
Aku menatap matanya tajam, masih kulihat bekas-bekas airmata disana. ”Dan kau rela tak memiliki keturunan yang akan terus mengalirkan darahmu?” Sejenak Alvin terdiam, aku tahu dia sulit untuk memilih, karena sama sekali tak ada pilihan dalam kisah ini. ”kita telah melewati ribuan hari bersama, mungkin bukan hal yang mudah untuk bisa melupakan semuanya, tapi kau tak boleh lupa bahwa ada ribuan hari yang jauh lebih banyak pernah kau lewati tanpaku, sebelum kau mengenalku. Aku yakin kita akan kuat. Kita pasti bisa.” entah mengapa aku menjadi begitu tegar dalam menghadapi masalah ini. Ya, mungkin karena kesedihanku telah terbawa oleh kepergian Angel.

**

Setelah mecoba mencari jalan keluar dan mencoba merenungi beberapa waktu, akhirnya kami sepakat untuk bercerai. Perpisahan yang sungguh tak pernah kami harapkan, tak pernah kami bayangkan. Dan yang paling terasa menyakitkan adah perceraian ini harus terjadi disaat hati kami masih saling mencinta. Tapi kami percaya bahwa memang ada saatnya cinta tidak harus dipertahankan.

End


Note:
Thalasseamia merupakan salah satu jenis anemia hemolitik dan merupakan penyakit keturunan yang diturunkan secara autosomal. Kalau sepasang penderita penyakit ini menikah, kemungkinan untuk mempunyai anak penderita talasemia berat adalah 25%, 50% menjadi pembawa sifat (carrier) talasemia, dan 25% kemungkinan bebas talase. Sumber: Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Thalassemia)

Dipostkan pada pagi yang paling dini di Satu Februari.

#NowPlaying Anji Accoustic - Melepasmu
Thanks for reading.
Love,
ham

2 komentar:

  1. Melanie AndriantoFebruari 04, 2012

    ah brengsek lo han bikin gue mewek gini! hani taiiiiiiiiiiiiiiiik! kemari lo pinjem sini bahu lo! tulisan lo bagus kampret!

    BalasHapus
  2. wuahahaha, sinih sinih mel gue peluk lo..

    BalasHapus