Sepiku membeku, meronta didalam sebuah jantung yang hampir biru menahan pilu
Kali ini aku memilih diam, terdiam dikala Senja
Mencoba mengenang yang tersisa, entah apa guna
Aku ingat, dibawah langit sore kala itu, menanti Senja denganmu
Seorang pemuda Hujan yang masih saja membuatku merona tiap kali melihat lengkung senyum diwajahnya
Kamu. Masih ingatkah? Masihkah terasa pelukanku saat malam mencabut nyawa langit kesukaanku
Ah..itu dulu, cerita ini sudah tak bisa lagi melahirkan tawa tiap kali kukenang
Senja kali ini, aku mengadahkan kepala, membiarkan rintikmu membasuh rindu yang makin kelabu
Sayangku, dimana kamu? Disini makin berdebu, aku butuh sentuhmu
Sayang? Apa masih bisa aku memanggilmu “Sayang” ?
Entahlah, lidahku terlalu kaku untuk mengeja kata keramat itu tiap kali suaramu menyapa
Ah..gila, ada apa dengan aku?
Ada apa dengan kamu?
Ada apa dengan segala kedinginan yang makin menjauhkan kata ‘kita’ ?
Ada apa, Sayang?
Boleh aku minta satu? Satu kali saja temani aku menikmati Senja dengan bersandar dibahumu
Boleh aku minta satu? Satu kali saja belai rambutku seperti dahulu
Boleh aku minta satu? Kecup keningku sebelum malam berlalu
Boleh aku minta satu? Peluk aku, berpura-puralah menjadi sayapku tanpa mengganggapku sebagai benalu
Boleh aku minta satu? Temani aku menari dibawah Hujan seperti janji yang telah berlalu
Boleh aku minta satu? Tatap kedua mataku dengan dalam, panggil aku “Sayang”, sekali saja, sebelum karma membunuh ku karena terlalu sendu
Masih bolehkah aku meminta satu? Kamu. Yang dulu.
Boleh?
Januari 2012,
Hujan Dikala Senja
ham
Tidak ada komentar:
Posting Komentar